Mengenal
Calon Pasangan Hidup
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Proses mencari jodoh dalam Islam bukanlah
“membeli kucing dalam karung” sebagaimana sering dituduhkan. Namun justru
diliputi oleh perkara yang penuh adab. Bukan “coba dulu baru beli” kemudian
“habis manis sepah dibuang”, sebagaimana jamaknya pacaran kawula muda di masa
sekarang.
Islam telah memberikan konsep yang jelas
tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan Al-Qur`an
dan As-Sunnah yang shahih. Berikut ini kami bawakan perinciannya:
Sebelum seorang lelaki memutuskan untuk
menikahi seorang wanita, tentunya ia harus mengenal terlebih dahulu siapa
wanita yang hendak dinikahinya, begitu pula sebaliknya si wanita tahu siapa
lelaki yang berhasrat menikahinya. Tentunya proses kenal-mengenal ini tidak
seperti yang dijalani orang-orang yang tidak paham agama, sehingga mereka
menghalalkan pacaran atau pertunangan dalam rangka penjajakan calon pasangan
hidup, kata mereka. Pacaran dan pertunangan haram hukumnya tanpa kita
sangsikan.
Adapun mengenali calon pasangan hidup di sini
maksudnya adalah mengetahui siapa namanya, asalnya, keturunannya, keluarganya,
akhlaknya, agamanya dan informasi lain yang memang dibutuhkan. Ini bisa
ditempuh dengan mencari informasi dari pihak ketiga, baik dari kerabat si
lelaki atau si wanita ataupun dari orang lain yang mengenali si lelaki/si
wanita.
Yang perlu menjadi perhatian, hendaknya
hal-hal yang bisa menjatuhkan kepada fitnah (godaan setan) dihindari kedua
belah pihak seperti bermudah-mudahan melakukan hubungan telepon, sms,
surat-menyurat, dengan alasan ingin ta’aruf (kenal-mengenal) dengan calon
suami/istri. Jangankan baru ta’aruf, yang sudah resmi meminang pun harus
menjaga dirinya dari fitnah. Karenanya, ketika Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang pembicaraan melalui telepon
antara seorang pria dengan seorang wanita yang telah dipinangnya, beliau
menjawab, “Tidak apa-apa seorang laki-laki berbicara lewat telepon dengan
wanita yang telah dipinangnya, bila memang pinangannya telah diterima dan
pembicaraan yang dilakukan dalam rangka mencari pemahaman sebatas kebutuhan
yang ada, tanpa adanya fitnah. Namun bila hal itu dilakukan lewat perantara
wali si wanita maka lebih baik lagi dan lebih jauh dari keraguan/fitnah. Adapun
pembicaraan yang biasa dilakukan laki-laki dengan wanita, antara pemuda dan
pemudi, padahal belum berlangsung pelamaran di antara mereka, namun tujuannya
untuk saling mengenal, sebagaimana yang mereka istilahkan, maka ini mungkar,
haram, bisa mengarah kepada fitnah serta menjerumuskan kepada perbuatan keji.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ
مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kalian tunduk (lembut
mendayu-dayu) dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang di
hatinya ada penyakit dan ucapkanlah ucapan yang ma’ruf.” (Al-Ahzab: 32)
Seorang wanita tidak sepantasnya berbicara
dengan laki-laki ajnabi kecuali bila ada kebutuhan dengan mengucapkan perkataan
yang ma’ruf, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada keraguan (yang
membuatnya dituduh macam-macam).” (Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatusy Syaikh
Shalih bin Fauzan 3/163-164)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
Ada beberapa hal yang disenangi bagi laki-laki
untuk memerhatikannya:
Wanita
itu shalihah, karena Nabi Shallallahu 'alaihiq
wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu (menurut kebiasaan yang ada,
pent.) dinikahi karena empat perkara, bisa jadi karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu
wanita yang memiliki agama. Bila tidak, engkau celaka.” (HR. Al-Bukhari no.
5090 dan Muslim no. 3620 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Wanita
itu subur rahimnya. Tentunya bisa diketahuiq
dengan melihat ibu atau saudara perempuannya yang telah menikah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah bersabda:
تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ
“Nikahilah oleh kalian wanita yang penyayang
lagi subur, karena aku berbangga- bangga di hadapan umat yang lain pada kiamat
dengan banyaknya jumlah kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 3227, Abu Dawud no. 1789,
dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul Ghalil no. 1784)
Wanita
tersebut masih gadis, yang dengannya akanq
dicapai kedekatan yang sempurna.
Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ketika
memberitakan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa ia telah menikah
dengan seorang janda, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَهَلاَّ جَارِيَةً تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ؟
“Mengapa engkau tidak menikah dengan gadis
hingga engkau bisa mengajaknya bermain dan dia bisa mengajakmu bermain?!”
Namun ketika Jabir mengemukakan alasannya,
bahwa ia memiliki banyak saudara perempuan yang masih belia, sehingga ia enggan
mendatangkan di tengah mereka perempuan yang sama mudanya dengan mereka
sehingga tak bisa mengurusi mereka, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memujinya, “Benar apa yang engkau lakukan.” (HR. Al-Bukhari no. 5080, 4052 dan
Muslim no. 3622, 3624)
Namun bukan berarti janda terlarang baginya,
karena dari keterangan di atas Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
memperkenankan Jabir radhiyallahu 'anhu memperistri seorang janda. Juga, semua
istri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dinikahi dalam keadaan janda,
kecuali Aisyah Radhiallahu'anha.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالْأَبْكَارِ، فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا
وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيْرِ
“Hendaklah kalian menikah dengan para gadis
karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak anaknya, dan lebih ridha
dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah no. 1861, dihasankan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 623)
0 komentar: