Hukum Nikah Beda Agama
Oleh : Agus Setiawan
"Cinta itu buta," begitu kata penyair asal Inggris, William Shakespeare. Sebuah ungkapan yang sudah tidak asing lagi bagi kita. Saat ini, tidak sedikit umat Muslim yang karena "cinta" berupaya sebisa mungkin untuk menikah dengan orang yang berbeda agama.
Seringkali kita jumpai pertanyaan : “Apa hukumnya bila nikah beda agama, baik yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah atau tidak menurut Islam, sedangkan menurut hukum positif bagaimana? Pertanyaan ini sering muncul terutama ketika kita berada di sebuah negara yang mayoritas penduduknya non muslim, seperti di Indonesia ini.
Ada 2 jenis menikah beda agama:
1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam.
2. Laki-laki beragama Islam, menikah dengan perempuan non-Islam perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non Islam adalah Surat Al Baqarah ayat : 221
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan denga izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Jadi, wanita muslimah dilarang atau diharamkan menikah dengan non muslim, apapun alasannya. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap berzina.
Sedangkan Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam terbagi atas 2 macam:
1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab ( Nasrani dan Yahudi/agama samawi). Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah ayat :5,
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.
2. Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak ulama yg melarang, dengan dasar Al Baqarah ayat : 222,
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Banyak ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari sumber yg sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan pernikahan jenis ini.
Sedangkan yg dimaksud dengan musyrik disini adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Menikah dengan perempuan yang bukan Ahli Kitab, para ulama sepakat melarang (haram hukumnya).
Dari sebuah literatur, dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka.
Sehingga kita bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah, hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya. Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina, minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah. Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut,Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.
Sementara itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat Nabi juga ada para tabi`In seperti Atho`, Ibnu Musayib, al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri.
Pada generasi berikutnya ada Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah. Yang sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah. Pendapat yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka adalah musyrik. Namun jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang muslim disbanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah pria muslim sedikit sementara wanita muslimah banyak, maka dalam kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnya pria muslim menikah dengan wanita non muslim.
Dibolehkannya laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin Rumah Tangga, berkuasa atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya.
Akan tetapi, agama lain seperti Nasrani dan Yahudi tidak pernah memberikan jaminan kepada isteri yang berlainan agama.
Itu adalah hukum Nikah Beda Agama pada masa dahulu, sedangkan sekarang ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam musyawarah Nasional II pada 1980 telah menetapkan fatwa tentang pernikahan beda agama. MUI menetapkan dua keputusan terkait pernikahan beda agama ini.
Pertama, para ulama di Tanah Air memutuskan bahwa perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram.
Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahlul kitab memang terdapat perbedaan pendapat. "Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar dari maslahatnya, MUI memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram," ungkap Dewan Pimpinan Munas II MUI, Prof Hamka, dalam fatwa itu.
Dalam memutuskan fatwanya, MUI menggunakan Alquran dan Hadis sebagai dasar hokum, yaitu Surat al-Baqarah:221 dan Surat al-Maidah ayat 5serta at Tahrim ayat 6 sebagai dalil. Sedangkan, hadis yang dijadikan dalil adalah Sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Tabrani: "Barang siapa telah kawin, ia telah memelihara setengah bagian dari imannya, karena itu, hendaklah ia takwa (takut) kepada Allah dalam bagian yang lain."
Ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah beda agama. Fatwa itu ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989. Ulama NU dalam fatwanya menegaskan bahwa nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah.
Selain itu, dalam UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 juga disebutkan bahwa: Pernikahan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
UU Perkawinan memandang perkawinan tidak hanya dilihat dari aspek formal semata-mata, melainkan juga dari aspek agama. Aspek agama menetapkan tentang keabsahan suatu perkawinan, sedangkan aspek formalnya menyangkut aspek administratif, yaitu pencatatan perkawinan. Menurut UU Perkawinan, kedua aspek ini harus terpenuhi keduanya. Bila perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-undang negara, tanpa memperhatikan unsur agama, perkawinan dianggap tidak sah. Sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan hanya memperhatikan unsur hukum agama saja, tanpa memperhatikan atau mengabaikan Undang-undang (hukum negara), maka perkawinan dianggap tidak sah.
Jadi, jika terdapat pernikahan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang berbeda agama, maka pernikahan tersebut dinyatakan tidak sah. Tidak sah menurut hukum positif dan menurut agama, karena semua agama melarang pernikahan orang-orang yang beda agama.
0 komentar: