Tonggak-tonggak sejarah Pacitan
Posted by http://smpm6klego.blogspot.com |  at 22.34
Tonggak-tonggak sejarah Pacitan
Dalam rangka menyambut hari ulang tahun kota Pacitan yang ke 267 pada
19 Pebruari 2012, saya membuat tulisan yang mencoba merekam dan
mendokumentasikan berbagai peristiwa penting yang terjadi di Pacitan
mulai dari jaman pra sejarah sampai dengan jaman sekarang ini. Sumber
tulisan ini dikumpulkan dari berbagai sumber yang dapat anda lihat di
link atau secara komplit di bagian akhir dari tulisan ini.
Saya
akan berterimakasih apabila para pembaca sekalian berkenan untuk
menanggapi, melengkapi, mengurangi, membantah, dan sebagainya isi dari
tulisan ini. Dengan demikian ini akan menjadi tulisan yang ‘hidup’ dan
menjadi milik bersama kita semua.
Dirgahayu Pacitan ke 267..!!
Pacitan jaman Pra Sejarah
Mata Panah jaman pra sejarah dari Pacitan (Gambar diambil dari sini )
Berbagai temuan arkeologi menunjukkan bahwa ternyata Pacitan sudah
dihuni pada masa-masa pra sejarah. Benda-benda yang ditemukan tersebut
diduga merupakan alat-alat kerja tingkat sederhana jaman Prasejarah yang
digunakan pada masa berburu dan mengumpulkan makan. Dikenalnya Pacitan
sebagai situs arkeologi dimulai sekitar tahun 1935 saat Gustav Heinrich
Ralph von Keningswald, seorang paleontology dan geology dari jerman
serta M.W.F. Tweedie menemukan situs Kali Bak Sooka di Kecamatan Punung.
Situs ini merupakan Bengkel Manusia Purba Terbesar dari kebudayaan
Paleolitik atau lebih dikenal sebagai budaya Pacitanian. Selanjutnya
ditemukan kurang lebih 261 lokasi situs prasejarah dengan 3000 temuan
artefak.
Temuan artefak di pacitan ada berbagai macam
diantaranya Kapak Perimbas yang mempunyai multi fungsi, selain alat
untuk mencari ubi juga untuk berburu. Dalam kegiatan berburu, terutama
mulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut manusia
juga menciptakan ujung anak panah dari batu. Temuan-temuan lainnya
diantaranya adalah Kapak Genggam, Kapak penetak, mata anak panah, serut,
alat-alat dari tulang, dsb. Pernah ditemukan juga manik-manik sebagai
sarana yang dipakai sebagai perhiasan dan juga biasanya dipakai sebagai
bekal kubur. Manik-manik semacam ini mulai ada sejak masa bercocok tanam
yang pada saat itu juga berkembang kebudayaan Megalithicum/batu-batu
seperti dolmen, kubur batu, dan sebagainya.
Tidak hanya
peralatan tetapi juga pernah ditemukan fosil manusia purba dari ras
Austrialid yang hidup sekitar 12.000 tahun sebelum masehi. Ketika
ditemukan, kerangka manusia purba berjenis kelamin perempuan itu dalam
posisi terlipat menghadap dinding goa dan disangga beberapa batu.
Ditangannya memegang peralatan dari batu. Satu lagi kerangka juga
ditemukan tetapi rasnya berbeda, yaitu dari ras Mongoloid.
Situs-situs ditemukannya artefak-artefak tersebut diantaranya adalah
situs Kali Bak Sooka, Song Keplek, Song Terus, situs Sungai Banjar,
Sungai Karasan, Sungai Jatigunung (Tulakan), Kedung Gamping, Mantren,
dsb.
Situs Song Terus (photo: Tunjung Gina)
Pacitan Jaman Ki Ageng Buwana Keling
Sejarah Pacitan umumnya ditulis berawal dari kedatangan Ki Buwana
Keling, salah satu utusan Raja Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa
Timur dan Jawa Tengah ini, pada abad ke XII M. Menurut silsilah, asal
usul KI Ageng Buwana Keling adalah putra Pejajaran yang di kawinkan
dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah
menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling mendapat hadiah
tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah kekuasaan
Majapahit. Pusat pemerintahan Negeri Buwana Keling terletak di ± 7 km
dari ibukota Pacitan sekarang (Jati Kec. Kebonagung) yang disebut daerah
wengker kidul atau daerah pesisir selatan. KI Ageng Buwana Keling
berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama KI
Ageng Bana Keling.
Keberadaan Ki Ageng Buwana Keling ini
dikuatkan dengan prasasti jawa kuno yang diduga dibuat pada abad XV yang
menyebutkan bahwa Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di daerah
wengker kidul.
PRASASTI JAWA KUNO
JA PURA PURAKSARA ERESTHA
BHUWANA KELING ABHIYANA
JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA
BHIJNA TABHA MINIGVAZAH
RATNA KARA PRAMANANTU
Artinya : dahulu ada seorang pendekar ternama bernama buwono keling
yang telah mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan.
Seorang guru diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi
perintis dan pemakrarsa daerah sekitarnya.
Versi lain
menyatakan bahwa Ki Ageng Buwono Keling ini adalah saudara seperguruan
Ki Tunggul Wulung, salah seorang kepercayaan Prabu Brawijaya V.
Ceritanya dimulai pada saat menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit di
masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang menikah dengan puteri dari
China. Dalam kepercayaan kala itu siapa saja wangsa Jawa yang menikahi
puteri China dia akan mengalami kekalahan dalam segala hal. Prabu
Brawijaya V menyadari hal tersebut, beliau kemudian menyiapkan seseorang
untuk berjaga-jaga bila huru-hara benar-benar terjadi. Seseorang yang
dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki
Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu.
Di saat itulah
Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa,
karena tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yaitu Ki
Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso (mereka berempat bukan saudara
kandung melainkan saudara satu perguruan) melarikan diri ke daerah
selatan sesuai dengan petunjuk gurunya, “Berjalanlah selama 40 hari dan
setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah bila kalian
melihat tempat yang datar, tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker
Kidul”. Seampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi
tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat
pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.
Saat kemudain
Majapahit benar-benar mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung
turun gunung, ternyata beliau tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut.
Kemudian Ki tunggul Wulung memutuskan untuk mencari ketiga saudara
seperguruannya dengan meminta petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru
dalam keadaan kritis dan dalam hembusan nafas terakhirnya ia berpesan
untuk menggali makam dengan tongkatnya.
Setelah peristiwa
tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di
tempat yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang
berjajar empat (kelak terkenal dengan sebutan Gunung Limo, tetapi tidak
terlihat sebagai lima gunung bila dilihat dari Astono Genthong ).
Kemudian ia mempunyai firasat bila saudaranya berada di gugusan gunung
tersebut, namun sesampainya di gunung tersebut ia tidak bertemu
saudaranya.
Dikisahkan bahwa akhirnya Kyai Tunggul Wulung
membuka lahan atau babad alas disekitar lereng gunung Limo. Salah satu
dari gugusan gunung yang berjumlah lima merupakan tempat untuk bertapa
atau bersemedi. Untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak
rintangan seperti tangga (ondo rante) selain itu kita harus menembus
hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep.
Selo
Matangkep adalah sebuah celah sempit diantara batu besar yang hanya
cukup dilewati sebadan orang saja, dipintu masuk Selo Matangkep tersebut
dipercaya apabila ada pengunjung yang berniat jahat maka ia tidak akan
bisa melewatinya, sementara itu bagi yang berniat baik untuk berkunjung
ke pertapaan kendati ia berbadan besar maupun kecil akan bisa
melewatinya.
Berakhirnya Masa Ki Ageng Buwana Keling dan Masuknya Islam di Pacitan
Kegoncangan masyarakat Wengker Kidul dibawah pemerintahan Ki Ageng
Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh
Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki Ageng Petung
(R. Jaka Deleg /Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/KI
Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta KI
Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk
mengikuti atau memeluk ajaran Islam.
Namun setelah KI Ageng
Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru
yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah
peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama
Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama
Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh
Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah
pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan
keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut
peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan
pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo
yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V).
Dalam legenda sering disebutkan bahwa Ki Ageng Buwana Keling ini adalah
seorang yang sakti mandraguna. Beliau tidak bisa mati meesski dibunuh
berkali-kali berkat ajian yang beliau miliki yakni “Pancasona”. Akhirnya
ditemukan juga kelemahan beliau. Ki Ageng Buwono Keling dibunuh
kemudian dipotong menjadi tiga bagain kemudian jenazahnya dimakamkan di
tiga lokasi yang berbeda dimana masing-masing dipisahkan oleh sungai.
Jl. Ki Ageng Petung Pacitan tahun 1974
Berdirinya Pondok Pesantren Tremas
Sejak terbunuhnya Ki Ageng Buwono Keling itulah maka daerah Wengker
Kidul dapat dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh
Maulana Maghribi, sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam
secara menyeluruh kepada rakyat sampai dengan wafatnya, dan kemudian
dimakamkan di daerah Pacitan.
Selanjutnya dari tahun ke tahun
sampai Bupati Jagakarya I berkuasa ( tahun 1826 ), perkembangan agama
Islam di Pacitan semakin maju dengan pesatnya, bahkan tiga tahun
kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama Bagus Darso (kelak
berganti nama menjadi KH. Abdul Manan) kembali dari perantauannya
mencari dan mendalami ilmu agama Islam di pondok pesantren Tegalsari
Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari. Sekembalinya beliau dari
pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R. Ngabehi Dipomenggolo mulai
mendirikan pondok di desa Semanten ( 2 Km arah utara kota Pacitan ).
Setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke daerah Tremas,
Arjosari yang kemudian dikenal dengan nama Pondok Pesantren Tremas
sekarang ini.
Asal mula Nama pacitan
Terdapat minimal
dua versi mengenai asal usul nama Pacitan. Versi pertama, Pacitan
berasal dari kata “Pace Sak Pengetan” yang diberikan oleh Pangeran
Mangkubumi saat menyingkir ke daerah Wengker Kidul karena terdesak
musuh. Saat itu sedang terjadi perang gerilya 1747-1749 (Perang Palihan
Nagari (1746-1755) )melawan VOC Belanda, Pangeran Mangkubumi mengalami
kekalahan, beliau disertai 12 orang pengikutnya mundur keselatan sambil
mencari dukungan untuk membantu perjuangan. Tanggal 25 Desember 1749
rombongan tersebut lemah lunglai, dan atas bantuan setroketipo beliau
diberi sebuah minuman yaitu buah pace yang telah direndam dengan legen
buah kelapa, dan seketika itu juga kekuatan Pangeran Mangkubumi pulih
kembali. Daerah itu diingat dengan pace sapengetan dan dalam pembicaraan
keseharian sering disingkat dengan pace-tan lalu menjadilah sebuah nama
kabupaten Pacitan (Drs. Ronggosaputro;1980)
Setelah Pangeran
Mangkubumi menjadi Hamenku Buwono I beliau memenuhi janjinya kepada para
pengikutnya yang ketika itu ikut bergerilya. Setroketipo diangkat
menjadi Bupati Pacitan ke-2 setelah sebelumnya dijabat oleh Raden
Ngabehi Tumenggung Notoprojo. Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo
sebelumnya diangkat juga oleh Pangeran Mangkubumi pada tanggal 17
Januari 1750 setelah beliau banyak membantu Pangeran Mangkubumi ketika
bergerilya didaerah pacitan. Ketika itu Ngabehi Suromarto menjabat
demang Nanggungan dan ketika diangkat bupati bergelar Raden Ngabehi
Tumenggung Notoprojo.
Versi yang lain mengatakan bahwa Pacitan
berasal dari kata pacitan yg berarti makanan kecil, camilan, snack yang
tidak mengenyangkan. Ada yang mengkaitkan ini dengan kondisi Pacitan
saat itu sebagai daerah minus sehingga sumber daya alam yang ada tidak
mencukupi atau tidak mengenyangkan warga yang tinggal di tempat
tersebut.
Ada fakta yang menarik bahwa nama Pacitan ternyata
telah muncul jauh sebelum terjadi perang gerilya Pangeran Mangkubumi.
Nama Pacitan telah disebut-sebut dalam Babad Momana yang dibuat pada
masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1645).
Nama-nama Pejabat Bupati Pacitan
1745-1750 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1750-1757 : R.T.Notopoero (Raden Ngabehi Tumenggung Notoprojo).
1757- : R.T.Soerjonegoro I
1757-1812 : R.T.Setrowidjojo I (Setroketipo)
1812- : R.T.Setrowidjojo II ((3 bulan) R.M Lantjoer)
1812-1826 : M.T.Djogokarjo I (Jayaniman)
1826- : M.T.Djogonegoro (Mas Sumadiwiryo)
1826-1850 : M.T.Djogokarjo II (Mas Karyodipuro)
1850-1864 : R.T. Djogokarjo III (Mas Purbohadikaryo)
1866-1879 : R.Adipati Martohadinegoro (Raden Mas Cokrodipuro)
1879-1906 : R.T Martohadiwinoto (Mas Ngabehi Martohadiwinata)
1906-1933 : R.Adipati Harjo Tjokronegoro I (R.T. Cokrohadijoyo)
1933-1937 : kosong (pemerintahan sehari-hari oleh Patih Raden Prawirohadiwiryo)
1937-1942 : R.T.Soerjo Hadijokro (bupati terakhir masa pemerintahan Belanda)
1943- : Soekardiman
1944-1945 : MR.Soesanto Tirtoprodjo
1945-1946 : R.Soewondo
1946-1948 : Hoetomo
1948-1950 : Soebekti Poesponoto
1950-1956 : R.Anggris Joedoediprodjo
1956-1960 : R. Soekijoen Sastro Hadisewojo(bupati)
1957-1958 : R.Broto Miseno (Kepala Daerah Swantara II)
1958-1960 : Ali Moertadlo (Kepala Daerah)
1960-1964 : R.Katamsi Pringgodigdo
1964-1969 : Tedjosumarta
1969-1980 : R.Moch Koesnan
1980-1985 : Imam Hanafi
1985-1990 : H.Mochtar Abdul Kadir
1990-1995 : H. Soedjito
1995-2000 : Sutjipto. Hs
2000-2005 : H. Soetrisno
2005-2010: H. Sujono (meninggal sebelum selesai masa jabatan digantikan wakilnya: H.G. Soedibjo yang memerintah 34 hari)
2011- sekarang: Drs. H. Indartato, MM
Tagged as:
About the Author
Write admin description here..
0 komentar: