Khithbah
(Peminangan)
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Seorang lelaki yang telah berketetapan hati
untuk menikahi seorang wanita, hendaknya meminang wanita tersebut kepada
walinya.
Apabila seorang lelaki mengetahui wanita yang
hendak dipinangnya telah terlebih dahulu dipinang oleh lelaki lain dan pinangan
itu diterima, maka haram baginya meminang wanita tersebut. Karena Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
لاَ يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى يَنْكِحَ
أَوْ يَتْرُكَ
“Tidak boleh seseorang meminang wanita yang
telah dipinang oleh saudaranya hingga saudaranya itu menikahi si wanita atau
meninggalkannya (membatalkan pinangannya).” (HR. Al-Bukhari no. 5144)
Dalam riwayat Muslim (no. 3449) disebutkan:
الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ، فَلاَ يَحِلُّ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ
يَبْتَاعَ عَلى بَيْعِ أَخِيْهِ وَلاَ يَخْطُبَ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ حَتَّى
يَذَرَ
“Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin
yang lain. Maka tidaklah halal baginya menawar barang yang telah dibeli oleh
saudaranya dan tidak halal pula baginya meminang wanita yang telah dipinang
oleh saudaranya hingga saudaranya meninggalkan pinangannya (membatalkan).”
Perkara ini merugikan peminang yang pertama,
di mana bisa jadi pihak wanita meminta pembatalan pinangannya disebabkan si
wanita lebih menyukai peminang kedua. Akibatnya, terjadi permusuhan di antara
sesama muslim dan pelanggaran hak. Bila peminang pertama ternyata ditolak atau
peminang pertama mengizinkan peminang kedua untuk melamar si wanita, atau
peminang pertama membatalkan pinangannya maka boleh bagi peminang kedua untuk
maju. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 2/282)
Setelah pinangan diterima tentunya ada
kelanjutan pembicaraan, kapan akad nikad akan dilangsungkan. Namun tidak
berarti setelah peminangan tersebut, si lelaki bebas berduaan dan berhubungan
dengan si wanita. Karena selama belum akad keduanya tetap ajnabi, sehingga
janganlah seorang muslim bermudah-mudahan dalam hal ini. (Fiqhun Nisa fil
Khithbah waz Zawaj, hal. 28)
Jangankan duduk bicara berduaan, bahkan
ditemani mahram si wanita pun masih dapat mendatangkan fitnah. Karenanya,
ketika Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu dimintai fatwa tentang seorang
lelaki yang telah meminang seorang wanita, kemudian di hari-hari setelah
peminangan, ia biasa bertandang ke rumah si wanita, duduk sebentar bersamanya
dengan didampingi mahram si wanita dalam keadaan si wanita memakai hijab yang
syar’i. Berbincanglah si lelaki dengan si wanita. Namun pembicaraan mereka
tidak keluar dari pembahasan agama ataupun bacaan Al- Qur`an. Lalu apa jawaban
Syaikh rahimahullahu? Beliau ternyata berfatwa, “Hal seperti itu tidak
sepantasnya dilakukan. Karena, perasaan pria bahwa wanita yang duduk bersamanya
telah dipinangnya secara umum akan membangkitkan syahwat. Sementara bangkitnya
syahwat kepada selain istri dan budak perempuan yang dimiliki adalah haram.
Sesuatu yang mengantarkan kepada keharaman, hukumnya haram pula.” (Fatawa
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin, 2/748)
Yang perlu diperhatikan oleh wali
Ketika wali si wanita didatangi oleh lelaki
yang hendak meminang si wanita atau ia hendak menikahkan wanita yang di bawah
perwaliannya, seharusnya ia memerhatikan perkara berikut ini:
q Memilihkan suami yang shalih dan bertakwa. Bila yang datang
kepadanya lelaki yang demikian dan si wanita yang di bawah perwaliannya juga
menyetujui maka hendaknya ia menikahkannya karena Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِيْنَهُ وَخُلُقَهُ
فَزَوِّجُوْهُ، إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَرْضِ وَفَسَادٌ
عَرِيْضٌ
“Apabila datang kepada kalian (para wali)
seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian)
maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila
kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan
yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al- Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Meminta
pendapat putrinya/wanita yang di bawahq
perwaliannya dan tidak boleh memaksanya.
Persetujuan seorang gadis adalah dengan
diamnya karena biasanya ia malu. Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata
menyampaikan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ
الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَيْفَ إِذْنُهَا؟
قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga
ia diajak musyawarah/dimintai pendapat dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan
sampai dimintai izinnya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah! Bagaimana izinnya
seorang gadis?” “Izinnya dengan ia diam,” jawab beliau. (HR. Al-Bukhari no.
5136 dan Muslim no. 3458)
Akad Nikah
|
|
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua
pihak yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul.
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul
adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan
ucapannya, misalnya: “Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan
mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya,
misalnya: “Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar
sebuah kitab Riyadhus Shalihin.”
Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk
menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah.
Lafadznya sebagai berikut:
إِنَّ
الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوبُ
إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ
أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا
هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَلاَّ إِلَهَ إلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ. (آل عمران: 102)
يَاأَيُّهَا
النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ
مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا
اللهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا. (النساء: 1)
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا. (الأحزاب: 70-71)
Walimatul ‘Urs
|
|
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Melangsungkan walimah ‘urs hukumnya sunnah menurut sebagian
besar ahlul ilmi, menyelisihi pendapat sebagian mereka yang mengatakan wajib,
karena adanya perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abdurrahman
bin Auf radhiyallahu 'anhu ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya telah
menikah:
أَوْلِمْ
وَلَوْ بِشَاةٍ
“Selenggarakanlah walimah walaupun dengan hanya menyembelih
seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 5167 dan Muslim no. 3475)
Bagi orang yang punya kelapangan tentunya, sehingga jangan
dipahami bahwa walimah harus dengan memotong kambing. Setiap orang punya
kemampuan yang berbeda. (Syarhus Sunnah 9/135)
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam walimah atas
pernikahannya dengan Shafiyyah, yang terhidang hanyalah makanan yang terbuat
dari tepung dicampur dengan minyak samin dan keju (HR. Al-Bukhari no. 5169).
Sehingga hal ini menunjukkan boleh walimah tanpa memotong
sembelihan. Wallahu ‘alam bish-shawab.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri
menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya seperti dalam hadits
Anas radhiyallahu 'anhu disebutkan:
مَا
أَوْلَمَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَلىَ شَيْءٍ مِنْ نِسَائِهِ مَا أَوْلَمَ
عَلىَ زَيْنَبَ، أَوْلَمَ بِشَاةٍ
“Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyelenggarakan walimah ketika menikahi istri-istrinya dengan sesuatu yang
seperti beliau lakukan ketika walimah dengan Zainab. Beliau menyembelih kambing
untuk acara walimahnya dengan Zainab.” (HR. Al-Bukhari no. 5168 dan Muslim no.
3489)
Walimah bisa dilakukan kapan saja. Bisa setelah
dilangsungkannya akad nikah dan bisa pula ditunda beberapa waktu sampai
berakhirnya hari-hari pengantin baru. Namun disenangi tiga hari setelah dukhul,
karena demikian yang dinukilkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Anas
bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menikah dengan Shafiyyah radhiyallahu 'anha dan beliau jadikan kemerdekaan
Shafiyyah sebagai maharnya. Beliau mengadakan walimah tiga hari kemudian.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata dalam Adabuz Zafaf hal. 74:
“Diriwayatkan Abu Ya’la dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Fathul Bari
(9/199) dan ada dalam Shahih Al-Bukhari secara makna.”)
Hendaklah yang diundang dalam acara walimah tersebut
orang-orang yang shalih, tanpa memandang dia orang kaya atau orang miskin.
Karena kalau yang dipentingkan hanya orang kaya sementara orang miskinnya tidak
diundang, maka makanan walimah tersebut teranggap sejelek-jelek makanan. Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
شَرُّ
الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُدْعَى إِلَيْهَا اْلأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ
الْمَسَاكِيْنُ
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah di mana yang
diundang dalam walimah tersebut hanya orang-orang kaya sementara orang-orang
miskin tidak diundang.” (HR. Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 3507)
Pada hari pernikahan ini disunnahkan menabuh duff (sejenis
rebana kecil, tanpa keping logam di sekelilingnya -yang menimbulkan suara
gemerincing-, ed.) dalam rangka mengumumkan kepada khalayak akan adanya
pernikahan tersebut. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فَصْلُ
مَا بَيْنَ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pemisah antara apa yang halal dan yang haram adalah duff
dan shaut (suara) dalam pernikahan.” (HR. An-Nasa`i no. 3369, Ibnu Majah no.
1896. Dihasankan Al-Imam Al- Albani rahimahullahu dalam Al-Irwa` no. 1994)
Adapun makna shaut di sini adalah pengumuman pernikahan,
lantangnya suara dan penyebutan/pembicaraan tentang pernikahan tersebut di
tengah manusia. (Syarhus Sunnah 9/47,48)
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu menyebutkan satu bab dalam
Shahih-nya, “Menabuh duff dalam acara pernikahan dan walimah” dan membawakan
hadits Ar- Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiyallahu 'anha yang mengisahkan
kehadiran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam pernikahannya. Ketika
itu anak-anak perempuan memukul duff sembari merangkai kata-kata
menyenandungkan pujian untuk bapak- bapak mereka yang terbunuh dalam perang Badr,
sementara Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendengarkannya. (HR.
Al-Bukhari no. 5148)
Dalam acara pernikahan ini tidak boleh memutar
nyanyian-nyanyian atau memainkan alat-alat musik, karena semua itu hukumnya
haram.
Disunnahkan bagi yang menghadiri sebuah pernikahan untuk
mendoakan kedua mempelai dengan dalil hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,
ia berkata:
أَنَّ
النَّبِيَّّ صلى الله عليه وسلم كاَنَ إِذَا رَفَّأَ اْلإِنْسَاَن، إِذَا
تَزَوَّجَ قَالَ:
“Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bila mendoakan
seseorang yang menikah, beliau mengatakan:
بَارَكَ
اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِي خَيْرٍ
0 komentar: