Nazhar (Melihat Calon Pasangan Hidup)
Penulis: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim
Seorang wanita pernah datang kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam untuk menghibahkan dirinya. Si wanita berkata:
ياَ
رَسُوْلَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي. فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيْهَا وَصَوَّبَهُ، ثُمَّ طَأْطَأَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رًأْسَهُ
“Wahai Rasulullah! Aku datang untuk menghibahkan diriku
kepadamu.” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun melihat ke arah wanita
tersebut. Beliau mengangkat dan menurunkan pandangannya kepada si wanita.
Kemudian beliau menundukkan kepalanya. (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no.
3472)
Hadits ini menunjukkan bila seorang lelaki ingin menikahi
seorang wanita maka dituntunkan baginya untuk terlebih dahulu melihat calonnya
tersebut dan mengamatinya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/215-216)
Oleh karena itu, ketika seorang sahabat ingin menikahi
wanita Anshar, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menasihatinya:
انْظُرْ
إِلَيْهَا، فَإِنَّ فِي أَعْيُنِ الْأَنْصَارِ شَيْئًا، يَعْنِي الصِّغَرَ
“Lihatlah wanita tersebut, karena pada mata orang-orang
Anshar ada sesuatu.” Yang beliau maksudkan adalah mata mereka kecil. (HR.
Muslim no. 3470 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Demikian pula ketika Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu
'anhu meminang seorang wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertanya kepadanya, “Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang
tersebut?” “Belum,” jawab Al-Mughirah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
انْظُرْ
إِلَيْهَا، فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا
“Lihatlah wanita tersebut, karena dengan seperti itu akan
lebih pantas untuk melanggengkan hubungan di antara kalian berdua (kelak).”
(HR. An-Nasa`i no. 3235, At-Tirmidzi no.1087. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Ash- Shahihah no. 96)
Al-Imam Al-Baghawi rahimahullahu berkata, “Dalam sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Al-Mughirah radhiyallahu 'anhu:
“Apakah engkau telah melihat wanita yang kau pinang tersebut?” ada dalil bahwa
sunnah hukumnya ia melihat si wanita sebelum khitbah (pelamaran), sehingga
tidak memberatkan si wanita bila ternyata ia membatalkan khitbahnya karena
setelah nazhar ternyata ia tidak menyenangi si wanita.” (Syarhus Sunnah 9/18)
Bila nazhar dilakukan setelah khitbah, bisa jadi dengan
khitbah tersebut si wanita merasa si lelaki pasti akan menikahinya. Padahal
mungkin ketika si lelaki melihatnya ternyata tidak menarik hatinya lalu
membatalkan lamarannya, hingga akhirnya si wanita kecewa dan sakit hati.
(Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214)
Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu 'anhu berkata,
“Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga
aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada
Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah
sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا
أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَيْهَا
“Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat)
untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita
tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Boleh melihat
wanita yang ingin dinikahi walaupun si wanita tidak mengetahuinya ataupun tidak
menyadarinya.” Dalil dari hal ini sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً، فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ لاَ
تَعْلَمُ
‘Apabila seorang dari kalian ingin meminang seorang wanita,
maka tidak ada dosa baginya melihat si wanita apabila memang tujuan melihatnya untuk
meminangnya, walaupun si wanita tidak mengetahui (bahwa dirinya sedang
dilihat).” (HR. Ath- Thahawi, Ahmad 5/424 dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul
Ausath 1/52/1/898, dengan sanad yang shahih, lihat Ash-Shahihah 1/200)
Pembolehan melihat wanita yang hendak dilamar walaupun tanpa
sepengetahuan dan tanpa seizinnya ini merupakan pendapat yang dipegangi jumhur
ulama.
Adapun Al-Imam Malik rahimahullahu dalam satu riwayat
darinya menyatakan, “Aku tidak menyukai bila si wanita dilihat dalam keadaan ia
tidak tahu karena khawatir pandangan kepada si wanita terarah kepada aurat.”
Dan dinukilkan dari sekelompok ahlul ilmi bahwasanya tidak boleh melihat wanita
yang dipinang sebelum dilangsungkannya akad karena si wanita masih belum jadi
istrinya. (Al-Hawil Kabir 9/35, Syarhul Ma’anil Atsar 2/372, Al-Minhaj Syarhu
Shahih Muslim 9/214, Fathul Bari 9/158)
Haramnya berduaan dan bersepi-sepi tanpa mahram ketika
nazhar
Sebagai catatan yang harus menjadi perhatian bahwa ketika
nazhar tidak boleh lelaki tersebut berduaan saja dan bersepi-sepi tanpa mahram
(berkhalwat) dengan si wanita. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ
يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Sekali-kali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi
dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari
no. 1862 dan Muslim no. 3259)
Karenanya si wanita harus ditemani oleh salah seorang
mahramnya, baik saudara laki- laki atau ayahnya. (Fiqhun Nisa` fil Khithbah waz
Zawaj, hal. 28)
Bila sekiranya tidak memungkinkan baginya melihat wanita
yang ingin dipinang, boleh ia mengutus seorang wanita yang tepercaya guna
melihat/mengamati wanita yang ingin dipinang untuk kemudian disampaikan
kepadanya. (An-Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, Ibnul Qaththan
Al-Fasi hal. 394, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 9/214, Al-Mulakhkhash
Al-Fiqhi, 2/280)
Batasan yang boleh dilihat dari seorang wanita
Ketika nazhar, boleh melihat si wanita pada bagian tubuh
yang biasa tampak di depan mahramnya. Bagian ini biasa tampak dari si wanita
ketika ia sedang bekerja di rumahnya, seperti wajah, dua telapak tangan, leher,
kepala, dua betis, dua telapak kaki dan semisalnya. Karena adanya hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَي مَا
يَدْعُوهُ إِلىَ نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Bila seorang dari kalian meminang seorang wanita, lalu ia
mampu melihat dari si wanita apa yang mendorongnya untuk menikahinya, maka
hendaklah ia melakukannya.” (HR. Abu Dawud no. 2082 dihasankan Al-Imam
Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 99)
Di samping itu, dilihat dari adat kebiasaan masyarakat,
melihat bagian-bagian itu bukanlah sesuatu yang dianggap memberatkan atau aib.
Juga dilihat dari pengamalan yang ada pada para sahabat. Sahabat Jabir bin
Abdillah radhiyallahu 'anhuma ketika melamar seorang perempuan, ia pun
bersembunyi untuk melihatnya hingga ia dapat melihat apa yang mendorongnya
untuk menikahi si gadis, karena mengamalkan hadits tersebut. Demikian juga
Muhammad bin Maslamah radhiyallahu 'anhu sebagaimana telah disinggung di atas.
Sehingga cukuplah hadits-hadits ini dan pemahaman sahabat sebagai hujjah untuk
membolehkan seorang lelaki untuk melihat lebih dari sekadar wajah dan dua telapak
tangan.
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Sisi kebolehan
melihat bagian tubuh si wanita yang biasa tampak adalah ketika Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam mengizinkan melihat wanita yang hendak dipinang dengan tanpa
sepengetahuannya. Dengan demikian diketahui bahwa beliau mengizinkan melihat
bagian tubuh si wanita yang memang biasa terlihat karena tidak mungkin yang
dibolehkan hanya melihat wajah saja padahal ketika itu tampak pula bagian
tubuhnya yang lain, tidak hanya wajahnya. Karena bagian tubuh tersebut memang
biasa terlihat. Dengan demikian dibolehkan melihatnya sebagaimana dibolehkan
melihat wajah. Dan juga karena si wanita boleh dilihat dengan perintah penetap
syariat berarti dibolehkan melihat bagian tubuhnya sebagaimana yang dibolehkan
kepada mahram-mahram si wanita.” (Al- Mughni, fashl Ibahatun Nazhar Ila Wajhil
Makhthubah)
Memang dalam masalah batasan yang boleh dilihat ketika
nazhar ini didapatkan adanya perselisihan pendapat di kalangan ulama. Bahkan
Al-Imam Ahmad rahimahullahu sampai memiliki beberapa riwayat dalam masalah ini,
di antaranya:
Pertama: Yang boleh dilihat hanya wajah si wanita saja.
Kedua: Wajah dan dua telapak tangan. Sebagaimana pendapat
ini juga dipegangi oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah.
Ketiga: Boleh dilihat bagian tubuhnya yang biasa tampak di
depan mahramnya dan bagian ini biasa tampak dari si wanita ketika ia sedang
bekerja di rumahnya seperti wajah, dua telapak tangan, leher, kepala, dua
betis, dua telapak kaki, dan semisalnya. Tidak boleh dilihat bagian tubuhnya
yang biasanya tertutup seperti bagian dada, punggung, dan semisal keduanya.
Keempat: Seluruh tubuhnya boleh dilihat, selain dua
kemaluannya. Dinukilkan pendapat ini dari Dawud Azh-Zhahiri.
Kelima: Boleh melihat seluruh tubuhnya tanpa pengecualian.
Pendapat ini dipegangi pula oleh Ibnu Hazm dan dicondongi oleh Ibnu Baththal
serta dinukilkan juga dari Dawud Azh-Zhahiri.
PERHATIAN: Tentang pendapat Dawud Azh-Zhahiri di atas,
Al-Imam An-Nawawi berkata bahwa pendapat tersebut adalah suatu kesalahan yang
nyata, yang menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah. Ibnul Qaththan menyatakan: “Ada
pun sau`atan (yakni qubul dan dubur) tidak perlu dikaji lagi bahwa keduanya
tidak boleh dilihat. Apa yang disebutkan bahwa Dawud membolehkan melihat kemaluan,
saya sendiri tidak pernah melihat pendapatnya secara langsung dalam buku
murid-muridnya. Itu hanya sekedar nukilan dari Abu Hamid Al-Isfirayini. Dan
telah saya kemukakan dalil-dalil yang melarang melihat aurat.”
Sulaiman At-Taimi berkata: “Bila engkau mengambil rukhshah
(pendapat yang ringan) dari setiap orang alim, akan terkumpul pada dirimu
seluruh kejelekan.”
Ibnu Abdilbarr berkata mengomentari ucapan Sulaiman At-Taimi
di atas: “Ini adalah ijma’ (kesepakatan ulama), aku tidak mengetahui adanya
perbedaan dalam hal ini.” (Shahih Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, hal. 359)
Selain itu ada pula pendapat berikutnya yang bukan merupakan
pendapat Al-Imam Ahmad:
Keenam: Boleh melihat wajah, dua telapak tangan dan dua
telapak kaki si wanita, demikian pendapat Abu Hanifah dalam satu riwayat
darinya.
Ketujuh: Boleh dilihat dari si wanita sampai ke
tempat-tempat daging pada tubuhnya, demikian kata Al-Auza’i. (An-Nazhar fi
Ahkamin Nazhar hal. 392,393, Fiqhun Nazhar hal. 77,78)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan bahwa riwayat
yang ketiga lebih mendekati zahir hadits dan mencocoki apa yang dilakukan oleh
para sahabat. (Ash- Shahihah, membahas hadits no. 99
0 komentar: