Latest Posts

Jumat, 24 Agustus 2012





SUASANA IDUL FITRI MY FAMILIY 1433 H





0 komentar:

DENGAN SEMANGAT IDUL FITRI 1433 MARI KITA TINGKATKAN DEPOSIT KITA UNTUK KEHIDUPAN AKHERAT
MENGHITUNG INFAQ JAMAAH LUMAYAN SEMOGA DAPAT PAHALA SETIMPAL




SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H SAMPAI KTEMU DI EDISI IDUL FITRI BERIKUTNYA

SUASANA IDUL FITRI WARGA DUSUN KARANGPAKEL 1433/2012

DENGAN SEMANGAT IDUL FITRI 1433 MARI KITA TINGKATKAN DEPOSIT KITA UNTUK KEHIDUPAN AKHERAT
MENGHITUNG INFAQ JAMAAH LUMAYAN SEMOGA DAPAT PAHALA SETIMPAL




SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1433 H SAMPAI KTEMU DI EDISI IDUL FITRI BERIKUTNYA

0 komentar:

MERAIH IMPIAN KAMU PASTI BISA

LOMBA MENEK PUCANG OEEEEEE.................





KEGIATA REMAS IBADURROHMAN KARANGPAKEL

MERAIH IMPIAN KAMU PASTI BISA

LOMBA MENEK PUCANG OEEEEEE.................





0 komentar:

Selasa, 14 Agustus 2012



Setiap hamba yang dipertemukan oleh Allah Ta’ala dengan bulan termulia Ramadhan, berarti telah diberi peluang istimewa untuk bisa meraih derajat kemuliaan istimewa pula. Tinggal apakah ia mau dengan sungguh-sungguh memanfaatkannya ataukah tidak.

Dan semua kita, meskipun kondisi berbeda-beda, dengan kejujuran iman dan mujahadah (usaha sungguh-sungguh) masing-masing, sesungguhnya berpeluang sama secara umum untuk bisa menggapai kemuliaan Ramadhan dengan semulia-mulianya dan seistimewa-istimewanya.

Maka, janganlah ada seorangpun yang merasa tidak bisa meraup sebesar dan sebanyak mungkin keberkahan bulan suci nan mulia ini, hanya karena ia berada dalam keadaan, kondisi dan situasi tertentu yang dinilai dan dianggapnya sebagai penghalang atau bahkan penghapus keberuntungannya pada Ramadhan kali ini atau kali kapanpun.

Karena untuk memperoleh keberkahan-keberkahan Ramadhan, jenis amal saleh apapun, sesuai kondisi, kemampuan dan kesanggupan masing-masing kita, sebenarnya tetap bisa dan berpeluang sama atau serupa untuk menjadi wasilah dan sarana.

Memang benar bahwa, amal-amal ibadah tertentu seperti puasa, shalat, tilawah Al-Qur’an, dzikir, doa, istighfar, i’tikaf, zakat, infak, sedekah dan semacamnya, merupakan wasilah-wasilah atau sarana-sarana prioritas utama untuk tujuan menggapai derajat taqwa istimewa di bulan Ramadhan seperti sekarang ini.

Namun yang perlu dipahami dan diyakini bahwa, sifat ibadah-ibadah tersebut sebagai prioritas amal Ramadhan tidaklah mutlak. Dan bukan segala-galanya seperti yang disikapi secara salah oleh tidak sedikit diantara kaum muslimin. Dimana ketika seseorang mengalami kondisi dan situasi tertentu yang menghalanginya dari ibadah-ibadah spesial tersebut atau sebagiannya selama Ramadhan, tak jarang ia lalu merasa sebagai orang yang paling tidak beruntung. Karena dengan demikian, dalam persepsinya, berarti ia telah kehilangan kesempatan untuk bisa memenuhi pundi-pundi pahalanya dan memperbanyak poin-poin kemuliaannya pada momentum teristimewa ini.

Tentu saja sikap seperti itu tidaklah tepat. Karena, sekali lagi, sifat ibadah-ibadah khusus diatas sebagai prioritas amal Ramadhan tidaklah mutlak, dan bukanlah segala-galanya. Itu memang berlaku seperti itu bagi umumnya orang yang berada dalam kondisi-kondisi normal dan biasa. Sehingga bagi siapapun diantara kita yang berkeleluasaan kondisi, haruslah senantiasa bersungguh-sungguh dalam upaya pemrioritasan dan pengistimewaan ibadah-ibadah ritual spesial tersebut. Namun bagi tak sedikit orang Islam lain, dengan kondisi-kondisi tertentu yang cukup spesifik, pada hakekatnya jenis amal saleh apapun yang mereka bisa sesuai kondisi, kesiapan dan kesanggupan yang dimiliki, tetap dapat berfungsi sama seperti amal-amal ibadah ritual diatas, dan sekaligus bisa menggantikan nilai dan pahala sebagian yang terhalang dari mereka, diantara amal-amal ibadah tersebut.

Maka yang harus dilakukan oleh setiap kita, saat kondisi mengahalanginya dari sebagian ibadah spesial tertentu yang diinginkannya, baik di dalam Ramadhan maupun di luarnya, adalah dengan segera beralih kepada jenis-jenis atau bentuk-bentuk ibadah dan amal lain yang memungkinkan sesuai kondisinya itu, lalu yakinlah bahwa nilai serta pahala yang didapat bisa saja sama, atau bahkan bisa lebih tinggi lagi.

Karena harus diingat dan dicatat bahwa, sejatinya yang terpenting dalam amal dan ibadah seseorang itu bukanlah jenis dan bentuk amalnya, ataupun banyaknya hasil yang dapat dikumpulkan dalam bidang amal ibadah tertentu. Melainkan tingkat keimanannya, level kejujurannya, nilai kesungguhannya dan kualitas mujahadah (usaha keras)-nya dalam melakukan setiap amal atau ibadah yang sesuai dengan kondisi dan kesanggupannya, apapun jenis dan bentuk amal ibadah tersebut.

Oleh sebab itu, jawaban Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda atas pertanyaan sama yang diajukan oleh beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Yakni pertanyaan tentang: apakah amal yang paling afdhal (utama) itu? Sehingga para ulamapun, seperti Imam Ibnul Qayyim misalnya, akhirnya menyimpulkan bahwa, pada hakekatnya tidak ada satu amal ibadahpun yang merupakan amal ibadah paling afdhal (utama) secara mutlak bagi siapapun dan dalam kondisi apapun. Melainkan yang tepat bahwa, penentuan ke-paling afdhal-an amal ibadah itu menyesuaikan dan mengikuti perbedaan kondisi dan situasi serta kesanggupan orang perorang pelakunya. Wallahu a’lam!

Dengan Amal Apa Sajakah Keberkahan Ramadhan Bisa Diraih?



Setiap hamba yang dipertemukan oleh Allah Ta’ala dengan bulan termulia Ramadhan, berarti telah diberi peluang istimewa untuk bisa meraih derajat kemuliaan istimewa pula. Tinggal apakah ia mau dengan sungguh-sungguh memanfaatkannya ataukah tidak.

Dan semua kita, meskipun kondisi berbeda-beda, dengan kejujuran iman dan mujahadah (usaha sungguh-sungguh) masing-masing, sesungguhnya berpeluang sama secara umum untuk bisa menggapai kemuliaan Ramadhan dengan semulia-mulianya dan seistimewa-istimewanya.

Maka, janganlah ada seorangpun yang merasa tidak bisa meraup sebesar dan sebanyak mungkin keberkahan bulan suci nan mulia ini, hanya karena ia berada dalam keadaan, kondisi dan situasi tertentu yang dinilai dan dianggapnya sebagai penghalang atau bahkan penghapus keberuntungannya pada Ramadhan kali ini atau kali kapanpun.

Karena untuk memperoleh keberkahan-keberkahan Ramadhan, jenis amal saleh apapun, sesuai kondisi, kemampuan dan kesanggupan masing-masing kita, sebenarnya tetap bisa dan berpeluang sama atau serupa untuk menjadi wasilah dan sarana.

Memang benar bahwa, amal-amal ibadah tertentu seperti puasa, shalat, tilawah Al-Qur’an, dzikir, doa, istighfar, i’tikaf, zakat, infak, sedekah dan semacamnya, merupakan wasilah-wasilah atau sarana-sarana prioritas utama untuk tujuan menggapai derajat taqwa istimewa di bulan Ramadhan seperti sekarang ini.

Namun yang perlu dipahami dan diyakini bahwa, sifat ibadah-ibadah tersebut sebagai prioritas amal Ramadhan tidaklah mutlak. Dan bukan segala-galanya seperti yang disikapi secara salah oleh tidak sedikit diantara kaum muslimin. Dimana ketika seseorang mengalami kondisi dan situasi tertentu yang menghalanginya dari ibadah-ibadah spesial tersebut atau sebagiannya selama Ramadhan, tak jarang ia lalu merasa sebagai orang yang paling tidak beruntung. Karena dengan demikian, dalam persepsinya, berarti ia telah kehilangan kesempatan untuk bisa memenuhi pundi-pundi pahalanya dan memperbanyak poin-poin kemuliaannya pada momentum teristimewa ini.

Tentu saja sikap seperti itu tidaklah tepat. Karena, sekali lagi, sifat ibadah-ibadah khusus diatas sebagai prioritas amal Ramadhan tidaklah mutlak, dan bukanlah segala-galanya. Itu memang berlaku seperti itu bagi umumnya orang yang berada dalam kondisi-kondisi normal dan biasa. Sehingga bagi siapapun diantara kita yang berkeleluasaan kondisi, haruslah senantiasa bersungguh-sungguh dalam upaya pemrioritasan dan pengistimewaan ibadah-ibadah ritual spesial tersebut. Namun bagi tak sedikit orang Islam lain, dengan kondisi-kondisi tertentu yang cukup spesifik, pada hakekatnya jenis amal saleh apapun yang mereka bisa sesuai kondisi, kesiapan dan kesanggupan yang dimiliki, tetap dapat berfungsi sama seperti amal-amal ibadah ritual diatas, dan sekaligus bisa menggantikan nilai dan pahala sebagian yang terhalang dari mereka, diantara amal-amal ibadah tersebut.

Maka yang harus dilakukan oleh setiap kita, saat kondisi mengahalanginya dari sebagian ibadah spesial tertentu yang diinginkannya, baik di dalam Ramadhan maupun di luarnya, adalah dengan segera beralih kepada jenis-jenis atau bentuk-bentuk ibadah dan amal lain yang memungkinkan sesuai kondisinya itu, lalu yakinlah bahwa nilai serta pahala yang didapat bisa saja sama, atau bahkan bisa lebih tinggi lagi.

Karena harus diingat dan dicatat bahwa, sejatinya yang terpenting dalam amal dan ibadah seseorang itu bukanlah jenis dan bentuk amalnya, ataupun banyaknya hasil yang dapat dikumpulkan dalam bidang amal ibadah tertentu. Melainkan tingkat keimanannya, level kejujurannya, nilai kesungguhannya dan kualitas mujahadah (usaha keras)-nya dalam melakukan setiap amal atau ibadah yang sesuai dengan kondisi dan kesanggupannya, apapun jenis dan bentuk amal ibadah tersebut.

Oleh sebab itu, jawaban Baginda Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam berbeda-beda atas pertanyaan sama yang diajukan oleh beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Yakni pertanyaan tentang: apakah amal yang paling afdhal (utama) itu? Sehingga para ulamapun, seperti Imam Ibnul Qayyim misalnya, akhirnya menyimpulkan bahwa, pada hakekatnya tidak ada satu amal ibadahpun yang merupakan amal ibadah paling afdhal (utama) secara mutlak bagi siapapun dan dalam kondisi apapun. Melainkan yang tepat bahwa, penentuan ke-paling afdhal-an amal ibadah itu menyesuaikan dan mengikuti perbedaan kondisi dan situasi serta kesanggupan orang perorang pelakunya. Wallahu a’lam!

0 komentar:



Ramadhan merupakan salah satu sarana dan momentum istimewa bagi setiap mukmin atau mukminah untuk ber-muhasabah dan bercermin diri, yang dengannya ia bisa mengetahui tingkat keimanannya, kualitas ketaqwaannya kepada Allah Ta’ala, dan kadar kerinduannya pada kehidupan ukhrawi yang bahagia. Dan melalui cermin Ramadhan, seseorang bisa menguji diri dan hatinya, untuk mengetahui sudah berada di tingkat apakah ia? Apakah tingkat iman dan taqwanya masih tetap berada di tingkat dasar: zhalimun linafsih (aniaya terhadap diri sendiri), atau sudah naik ke tingkat menengah: muqtashid (pas-pasan, sedang-sedang saja, dan dalam batas minimal aman dan selamat), atau alhamdulillah sudah sampai di tingkat tinggi: sabiqun bil-khairat (pelopor dan terdepan dalam berbagai kebaikan)?

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada golongan yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada kelompok pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang selalu di depan dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (QS. Faathir: 32).

Bercermin Diri Menjelang Ramadhan

Kita hendaknya bertanya kepada diri kita masing-masing: bagaimana sikap hati dan diri kita dalam menyongsong dan menyambut Ramadhan? Bagaimana ketika kita tahu bahwa Ramadhan sudah semakin dekat dan telah di ambang pintu? Apakah hati kita merasa berat karena akan bertemu dengan bulan beban yang serba memberatkan, merepotkan dan mengekang kebebasan? Atau tidak merasa berat, tapi sikap hati kita biasa-biasa dan santai-santai saja? Atau hati serasa berbunga-bunga karena demikian rindunya ingin segera bersua dengan kekasih hati, sang tamu agung nan mulia, yang senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya?

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ” (رواه النّسائي وأحمد والبيهقي).

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ramadhan telah datang kepada kalian, -ia adalah- bulan berkah, Allah -Azza wa Jalla- telah mewajibkan kepada kalian berpuasa. Di bulan itu pintu-pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup dan syetan-syetan pembangkang dibelenggu. Demi Allah di bulan itu ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat kebaikannya, maka sungguh berarti benar-benar ia telah terhalang/terjauhkan (dari kebaikan/rahmat Allah)” (HR. An-Nasaa-i, Ahmad dan Al-Baihaqi).

Bercermin Diri Selama Ramadhan

Pertama, bertanyalah kepada diri sendiri bagaimana kita memanfaatkan momentum istimewa yang bernama Ramadhan? Karena setiap waktu dalam bulan Ramadhan, setiap detiknya, setiap menitnya, setiap jamnya, setiap harinya, setiap malamnya, setiap siangnya, setiap petangnya, setiap paginya dan seluruhnya, adalah momentum istimewa yang penuh barokah, penuh rahmah, penuh maghfirah, penuh peluang pembebasan dari api neraka, pengabulan doa, penerimaan tobat, pelipatgandaan amal ibadah dan lain-lain, khususnya pada sepuluh malam dan hari terakhir, dan puncaknya pada malam Lailatul Qadar. Apakah hati, jiwa dan perasaan kita sudah cukup peka, sehingga selalu bisa menyadari dan merasakan itu semua? Nah, kualitas keimanan dan kadar ketaqwaan seseorang sangat ditentukan oleh sikap dan upayanya untuk menggapai kemuliaan selama Ramadhan, demi menyadari bahwa ia sedang berada dalam waktu-waktu istimewa bahkan super istimewa dan peluang-peluang emas bahkan berlian, yang sama sekali jauh berbeda dan tidak bisa dibandingkan dengan waktu-waktu dan peluang-peluang di bulan lain!

Maka masing-masing kita harus melakukan muhasabah minimal harian bahkan setiap saat selama Ramadhan, dan bertanya pada diri sendiri: amal istimewa apa yang sudah dibuat dan dilakukannya pada waktu-waktu, hari-hari dan malam-malam yang telah berlalu dari bulan istimewa ini? Sudah istimewakah puasanya, shalatnya, qiyamullailnya, tilawahnya, dzikir-doanya, infak-sedekahnya, dan amal-amal shalihnya yang lain? Ya, yang harus kita muhasabahi memang tentang seberapa istimewa amal-amal shalih itu telah kita lakukan. Karena jika amal-amal shalih yang kita lakukan selama Ramadhan ini, baru sama dengan yang kita lakukan di bulan-bulan lain, meskipun tentu itu bagus dan harus, namun masih belum cukup, karena itu berarti kita masih menyikapi bulan Ramadhan sama dengan yang lain, dan belum mengistimewakannya. Karena mengistimewakan Ramadhan nan istimewa haruslah dengan amal-amal yang serba istimewa, dan tidak cukup dengan yang biasa-biasa saja!

Kedua, selama Ramadhan kita bisa bercermin untuk melihat hakekat jiwa kita apa adanya, tanpa campur tangan syetan penggoda dan pengganggu utama, yang – berdasarkan hadits muttafaq ‘alaih - dirantai dan dibelenggu selama Ramadhan. Artinya, ketika selama Ramadhan seseorang masih punya niat buruk, kecenderungan buruk, dan amal buruk, maka ia harus sadar bahwa, keburukan itu murni berasal dari potensi fujur (QS. Asy-Syams: 7-10) dalam jiwanya, dan dari nafs ammarah bis-su’-nya (QS. Yusuf: 53), atau dari nafs musawwilah-nya (QS. Yusuf: 18), dan bukan dari godaan syetan yang sedang dirantai dan dibelenggu, yang berarti sedang nonaktif dari fungsi dan tugas utamanya, yakni menggoda!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ” (متّفق عليه).

“Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu Surga dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya dan syetan-syetan dibelenggu” (HR Muttafaq ‘Alaih).

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan/potensi) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan memenangkan potensi ketaqwaan dalam jiwanya). Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan memenangkan potensi kefasikan dalam jiwanya)” (QS. Asy-Syams: 7-10).

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf: 53).

”Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yususf: 18).

Bercermin Diri Pasca Ramadhan

Hendaknya kita meraba diri kita masing-masing: bentuk kegembiraan apa yang kita rasakan saat menyambut Idul Fitri? Apakah karena merasa telah terlepas dan terbebas dari bulan penuh beban yang serba mengekang, sehingga Idul Fitri seakan-akan justeru menjadi ajang kangen-kangenan dengan syetan – na’udzu billah – yang juga baru saja terlepas dan terbebas dari belenggu dan rantai? Ataukah karena merasa telah bebas makan dan minum kembali semaunya dan sesukanya tanpa dijadwal dan dibatasi lagi seperti saat Ramadhan? Ataukah gembira dan puas disertai rasa penuh syukur karena merasa telah mendapatkan taufiq dari Allah, sehingga bisa mengoptimalkan pemanfaatan bulan mulia, bulan agung, bulan istimewa, bulan utama dan bulan suci, untuk menggapai kemuliaan, keagungan, keistimewaan, keutamaan, dan kesucian diri?

”(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).

Kita juga bisa bercermin diri pasca Ramadhan dengan cara melihat sejauh mana perubahan telah kita dapat setelah melewati masa penempaan diri, tazkiyatunnafs (penyucian jiwa) dan tarbiyatudzdzat (pembinaan diri)? Lalu sudahkah ijazah “la’allakum tattaqun” (lihat QS. Al-Baqarah: 183) kita dapat dengan sukses? dengan bukti riil bahwa, kita telah menjadi pribadi-pribadi mukmin yang lebih bertaqwa? Semoga!

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Ramadhan Bulan Bercermin Diri (Syahrul Muhasabah)



Ramadhan merupakan salah satu sarana dan momentum istimewa bagi setiap mukmin atau mukminah untuk ber-muhasabah dan bercermin diri, yang dengannya ia bisa mengetahui tingkat keimanannya, kualitas ketaqwaannya kepada Allah Ta’ala, dan kadar kerinduannya pada kehidupan ukhrawi yang bahagia. Dan melalui cermin Ramadhan, seseorang bisa menguji diri dan hatinya, untuk mengetahui sudah berada di tingkat apakah ia? Apakah tingkat iman dan taqwanya masih tetap berada di tingkat dasar: zhalimun linafsih (aniaya terhadap diri sendiri), atau sudah naik ke tingkat menengah: muqtashid (pas-pasan, sedang-sedang saja, dan dalam batas minimal aman dan selamat), atau alhamdulillah sudah sampai di tingkat tinggi: sabiqun bil-khairat (pelopor dan terdepan dalam berbagai kebaikan)?

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada golongan yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada kelompok pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang selalu di depan dalam berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (QS. Faathir: 32).

Bercermin Diri Menjelang Ramadhan

Kita hendaknya bertanya kepada diri kita masing-masing: bagaimana sikap hati dan diri kita dalam menyongsong dan menyambut Ramadhan? Bagaimana ketika kita tahu bahwa Ramadhan sudah semakin dekat dan telah di ambang pintu? Apakah hati kita merasa berat karena akan bertemu dengan bulan beban yang serba memberatkan, merepotkan dan mengekang kebebasan? Atau tidak merasa berat, tapi sikap hati kita biasa-biasa dan santai-santai saja? Atau hati serasa berbunga-bunga karena demikian rindunya ingin segera bersua dengan kekasih hati, sang tamu agung nan mulia, yang senantiasa ditunggu-tunggu kehadirannya?

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ” (رواه النّسائي وأحمد والبيهقي).

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ramadhan telah datang kepada kalian, -ia adalah- bulan berkah, Allah -Azza wa Jalla- telah mewajibkan kepada kalian berpuasa. Di bulan itu pintu-pintu langit dibuka, dan pintu-pintu neraka Jahim ditutup dan syetan-syetan pembangkang dibelenggu. Demi Allah di bulan itu ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tidak mendapat kebaikannya, maka sungguh berarti benar-benar ia telah terhalang/terjauhkan (dari kebaikan/rahmat Allah)” (HR. An-Nasaa-i, Ahmad dan Al-Baihaqi).

Bercermin Diri Selama Ramadhan

Pertama, bertanyalah kepada diri sendiri bagaimana kita memanfaatkan momentum istimewa yang bernama Ramadhan? Karena setiap waktu dalam bulan Ramadhan, setiap detiknya, setiap menitnya, setiap jamnya, setiap harinya, setiap malamnya, setiap siangnya, setiap petangnya, setiap paginya dan seluruhnya, adalah momentum istimewa yang penuh barokah, penuh rahmah, penuh maghfirah, penuh peluang pembebasan dari api neraka, pengabulan doa, penerimaan tobat, pelipatgandaan amal ibadah dan lain-lain, khususnya pada sepuluh malam dan hari terakhir, dan puncaknya pada malam Lailatul Qadar. Apakah hati, jiwa dan perasaan kita sudah cukup peka, sehingga selalu bisa menyadari dan merasakan itu semua? Nah, kualitas keimanan dan kadar ketaqwaan seseorang sangat ditentukan oleh sikap dan upayanya untuk menggapai kemuliaan selama Ramadhan, demi menyadari bahwa ia sedang berada dalam waktu-waktu istimewa bahkan super istimewa dan peluang-peluang emas bahkan berlian, yang sama sekali jauh berbeda dan tidak bisa dibandingkan dengan waktu-waktu dan peluang-peluang di bulan lain!

Maka masing-masing kita harus melakukan muhasabah minimal harian bahkan setiap saat selama Ramadhan, dan bertanya pada diri sendiri: amal istimewa apa yang sudah dibuat dan dilakukannya pada waktu-waktu, hari-hari dan malam-malam yang telah berlalu dari bulan istimewa ini? Sudah istimewakah puasanya, shalatnya, qiyamullailnya, tilawahnya, dzikir-doanya, infak-sedekahnya, dan amal-amal shalihnya yang lain? Ya, yang harus kita muhasabahi memang tentang seberapa istimewa amal-amal shalih itu telah kita lakukan. Karena jika amal-amal shalih yang kita lakukan selama Ramadhan ini, baru sama dengan yang kita lakukan di bulan-bulan lain, meskipun tentu itu bagus dan harus, namun masih belum cukup, karena itu berarti kita masih menyikapi bulan Ramadhan sama dengan yang lain, dan belum mengistimewakannya. Karena mengistimewakan Ramadhan nan istimewa haruslah dengan amal-amal yang serba istimewa, dan tidak cukup dengan yang biasa-biasa saja!

Kedua, selama Ramadhan kita bisa bercermin untuk melihat hakekat jiwa kita apa adanya, tanpa campur tangan syetan penggoda dan pengganggu utama, yang – berdasarkan hadits muttafaq ‘alaih - dirantai dan dibelenggu selama Ramadhan. Artinya, ketika selama Ramadhan seseorang masih punya niat buruk, kecenderungan buruk, dan amal buruk, maka ia harus sadar bahwa, keburukan itu murni berasal dari potensi fujur (QS. Asy-Syams: 7-10) dalam jiwanya, dan dari nafs ammarah bis-su’-nya (QS. Yusuf: 53), atau dari nafs musawwilah-nya (QS. Yusuf: 18), dan bukan dari godaan syetan yang sedang dirantai dan dibelenggu, yang berarti sedang nonaktif dari fungsi dan tugas utamanya, yakni menggoda!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ” (متّفق عليه).

“Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu Surga dibuka selebar-lebarnya, pintu-pintu Neraka ditutup serapat-rapatnya dan syetan-syetan dibelenggu” (HR Muttafaq ‘Alaih).

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan/potensi) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (dengan memenangkan potensi ketaqwaan dalam jiwanya). Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan memenangkan potensi kefasikan dalam jiwanya)” (QS. Asy-Syams: 7-10).

“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang” (QS. Yusuf: 53).

”Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku. Dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yususf: 18).

Bercermin Diri Pasca Ramadhan

Hendaknya kita meraba diri kita masing-masing: bentuk kegembiraan apa yang kita rasakan saat menyambut Idul Fitri? Apakah karena merasa telah terlepas dan terbebas dari bulan penuh beban yang serba mengekang, sehingga Idul Fitri seakan-akan justeru menjadi ajang kangen-kangenan dengan syetan – na’udzu billah – yang juga baru saja terlepas dan terbebas dari belenggu dan rantai? Ataukah karena merasa telah bebas makan dan minum kembali semaunya dan sesukanya tanpa dijadwal dan dibatasi lagi seperti saat Ramadhan? Ataukah gembira dan puas disertai rasa penuh syukur karena merasa telah mendapatkan taufiq dari Allah, sehingga bisa mengoptimalkan pemanfaatan bulan mulia, bulan agung, bulan istimewa, bulan utama dan bulan suci, untuk menggapai kemuliaan, keagungan, keistimewaan, keutamaan, dan kesucian diri?

”(beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).

Kita juga bisa bercermin diri pasca Ramadhan dengan cara melihat sejauh mana perubahan telah kita dapat setelah melewati masa penempaan diri, tazkiyatunnafs (penyucian jiwa) dan tarbiyatudzdzat (pembinaan diri)? Lalu sudahkah ijazah “la’allakum tattaqun” (lihat QS. Al-Baqarah: 183) kita dapat dengan sukses? dengan bukti riil bahwa, kita telah menjadi pribadi-pribadi mukmin yang lebih bertaqwa? Semoga!

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

0 komentar:



Allahumma ya Allah! Kami memohon ampun kepada-MU dari istighfar-istighfar kami, yang masih lebih banyak hanya terucap di bibir saja, dan tak benar-benar keluar dari tekad hati dan kejujuran nurani kami!

Allahumma ya Allah! Kami bertobat kepada-MU dari tobat-tobat kami, yang masih lebih sering penuh dengan kepura-puraan dan pengelabuan diri sendiri !

Puji syukur tak terhingga hanya kepada-MU, ya Allah. Karena Engkau masih berkenan mengizinkan dan bahkan mewajibkan kami agar tetap dan senantiasa berharap dengan pengharapan yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya, pada tak terbatasnya keluasan ampunan-MU dan tak bertepinya samudera rahmat-MU !.

Allahumma ya Allah! Ampunkanlah kebodohan dan kesombongan kami, yang sering “protes” dan “tidak terima” dengan pembagian karunia-MU, demi merasa diri telah berhak dan pantas beroleh limpahan rahmat-MU. Padahal hakekatnya ya Allah, Engkau-lah Dzat Yang pantas merahmati kami. Karena Engkau adalah Dzat Ar-Rahman Ar-Rahim! Maka limpahkanlah kepada kami, ya Allah, curahan rahmat dan karunia-Mu. Bukan karena kami merasa telah berhak dan pantas beroleh samudera rahmat-Mu. Melainkan lebih karena kami yakin bahwa, Engkau-lah Dzat Ar-Rahman Ar-Rahim, Yang senantiasa pantas merahmati hamba-hamba pendosa seperti kami! Karena jika bukan Engkau ya Allah ya Rahman wa ya Rahim, maka siapa lagi yang kami harap agar merahmati kami?

Allahumma ya Allah. Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tahan dari kami rahmat dan karunia-Mu. Maka tebarkanlah kepada kami, ya Allah, limpahan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tahan dari kami rezeki dan barakah-Mu. Maka bukakanlah untuk kami, ya Allah, pintu-pintu rezeki dan barakah-Mu dari langit, dari bumi dan dari segala penjuru.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tahan ampunan dan maghfirah-Mu dari kami. Maka terimalah ya Allah istighfar-istighfar kami, dan ampunkanlah dosa-dosa kami, seperti yang telah Engkau janjikan dalam firman-Mu dan sabda Nabi-Mu.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tarik penjagaan, pemeliharaan dan perlindungan-Mu dari kami. Maka jaga, pelihara dan lindungilah kami ya Allah, sebagaimana Engkau menjaga, memelihara dan melindungi hamba-hamba-Mu yang saleh.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau angkat dan singkap tabir penutup aib dari kami. Maka tutuplah rapat-rapat ya Allah, aurat-aurat, rahasia-rahasia dan aib-aib kami, dengan tabir penutup yang indah dari-Mu.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau turunkan dan timpakan adzab-Mu atas kami . Maka selamatkan dan jauhkanlah kami, ya Allah, dari segala bala’ dan adzab dari-Mu, baik di dunia ini, maupun di alam barzakh dan akherat nanti.

Allahumma ya Allah! Sungguh kami yakin bahwa, maghfirah-MU lebih luas daripada dosa-dosa kami. Dan keyakinan kami akan limpahan rahmat-Mu jauh melampaui pengharapan kami dengan amal-amal kami sendiri. Maka ampunkan dan rahmatilah kami, ya Ghaffar wa ya Rahman.

Allahumma ya Allah! Engkau-lah Tuhan Penguasa kami. Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain hanya Engkau saja. Engkau Yang menciptakan kami, maka kami adalah hamba-hamba-Mu. Kami terikat dengan ikrar setia dan janji kepada-Mu, sesuai batas maksimal yang kami mampu. Kami kembali kepada-Mu dengan pengakuan akan segala nikmat-Mu atas kami, juga dengan seluruh dosa dan kesalahan kami. Maka ampunilah kami. Karena sungguh tiada yang mengampunkan dosa-dosa kecuali hanya Engkau semata!

Allahumma ya Allah, sungguh kami telah mendzalimi diri kami sendiri, dengan kedzaliman yang banyak. Dan tiada yang mengampunkan dosa-dosa kecuali hanya Engkau semata. Maka ampunilah kami dengan pengampunan yang sebenar-benarnya dari-Mu, dan rahmatilah kami. Karena hanya Engkau-lah Dzat Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang!

Nastaghfirullahal-ladzi la ilaha illa Huwal-Hayyul-Qayyum, wa natubu ilaih ! Kami beristighfar memohon ampun hanya kepada Allah, Yang tiada tuhan selain DIA, Maha Hidup dan Maha Menghidupkan, serta kami bertobat juga hanya kepada-NYA !

Munajat Hamba-hamba Pendosa



Allahumma ya Allah! Kami memohon ampun kepada-MU dari istighfar-istighfar kami, yang masih lebih banyak hanya terucap di bibir saja, dan tak benar-benar keluar dari tekad hati dan kejujuran nurani kami!

Allahumma ya Allah! Kami bertobat kepada-MU dari tobat-tobat kami, yang masih lebih sering penuh dengan kepura-puraan dan pengelabuan diri sendiri !

Puji syukur tak terhingga hanya kepada-MU, ya Allah. Karena Engkau masih berkenan mengizinkan dan bahkan mewajibkan kami agar tetap dan senantiasa berharap dengan pengharapan yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya, pada tak terbatasnya keluasan ampunan-MU dan tak bertepinya samudera rahmat-MU !.

Allahumma ya Allah! Ampunkanlah kebodohan dan kesombongan kami, yang sering “protes” dan “tidak terima” dengan pembagian karunia-MU, demi merasa diri telah berhak dan pantas beroleh limpahan rahmat-MU. Padahal hakekatnya ya Allah, Engkau-lah Dzat Yang pantas merahmati kami. Karena Engkau adalah Dzat Ar-Rahman Ar-Rahim! Maka limpahkanlah kepada kami, ya Allah, curahan rahmat dan karunia-Mu. Bukan karena kami merasa telah berhak dan pantas beroleh samudera rahmat-Mu. Melainkan lebih karena kami yakin bahwa, Engkau-lah Dzat Ar-Rahman Ar-Rahim, Yang senantiasa pantas merahmati hamba-hamba pendosa seperti kami! Karena jika bukan Engkau ya Allah ya Rahman wa ya Rahim, maka siapa lagi yang kami harap agar merahmati kami?

Allahumma ya Allah. Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tahan dari kami rahmat dan karunia-Mu. Maka tebarkanlah kepada kami, ya Allah, limpahan rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tahan dari kami rezeki dan barakah-Mu. Maka bukakanlah untuk kami, ya Allah, pintu-pintu rezeki dan barakah-Mu dari langit, dari bumi dan dari segala penjuru.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tahan ampunan dan maghfirah-Mu dari kami. Maka terimalah ya Allah istighfar-istighfar kami, dan ampunkanlah dosa-dosa kami, seperti yang telah Engkau janjikan dalam firman-Mu dan sabda Nabi-Mu.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau tarik penjagaan, pemeliharaan dan perlindungan-Mu dari kami. Maka jaga, pelihara dan lindungilah kami ya Allah, sebagaimana Engkau menjaga, memelihara dan melindungi hamba-hamba-Mu yang saleh.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau angkat dan singkap tabir penutup aib dari kami. Maka tutuplah rapat-rapat ya Allah, aurat-aurat, rahasia-rahasia dan aib-aib kami, dengan tabir penutup yang indah dari-Mu.

Allahumma ya Allah! Janganlah karena dosa-dosa kami, Engkau turunkan dan timpakan adzab-Mu atas kami . Maka selamatkan dan jauhkanlah kami, ya Allah, dari segala bala’ dan adzab dari-Mu, baik di dunia ini, maupun di alam barzakh dan akherat nanti.

Allahumma ya Allah! Sungguh kami yakin bahwa, maghfirah-MU lebih luas daripada dosa-dosa kami. Dan keyakinan kami akan limpahan rahmat-Mu jauh melampaui pengharapan kami dengan amal-amal kami sendiri. Maka ampunkan dan rahmatilah kami, ya Ghaffar wa ya Rahman.

Allahumma ya Allah! Engkau-lah Tuhan Penguasa kami. Tiada tuhan yang berhak diibadahi selain hanya Engkau saja. Engkau Yang menciptakan kami, maka kami adalah hamba-hamba-Mu. Kami terikat dengan ikrar setia dan janji kepada-Mu, sesuai batas maksimal yang kami mampu. Kami kembali kepada-Mu dengan pengakuan akan segala nikmat-Mu atas kami, juga dengan seluruh dosa dan kesalahan kami. Maka ampunilah kami. Karena sungguh tiada yang mengampunkan dosa-dosa kecuali hanya Engkau semata!

Allahumma ya Allah, sungguh kami telah mendzalimi diri kami sendiri, dengan kedzaliman yang banyak. Dan tiada yang mengampunkan dosa-dosa kecuali hanya Engkau semata. Maka ampunilah kami dengan pengampunan yang sebenar-benarnya dari-Mu, dan rahmatilah kami. Karena hanya Engkau-lah Dzat Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang!

Nastaghfirullahal-ladzi la ilaha illa Huwal-Hayyul-Qayyum, wa natubu ilaih ! Kami beristighfar memohon ampun hanya kepada Allah, Yang tiada tuhan selain DIA, Maha Hidup dan Maha Menghidupkan, serta kami bertobat juga hanya kepada-NYA !

0 komentar:



IDUL FITRI selalu hadir sebagai penutup ibadah puasa Ramadhan setiap tahun. Sudah barang tentu kita semua bersama seluruh kaum muslimin senantiasa menyambut dan merayakannya dengan rasa penuh kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan dan kesuka citaan. Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah: sudah benarkah sikap dan cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan renungan dan muhasabah (introspeksi atau evaluasi diri) kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri seperti hari ini.

Mari kita tengok sejenak beragam pemaknaan dan penyikapan yang ada di masyarakat kita terhadap hari raya idul fitri ini. Diantara masyarakat ada yang memelesetkan idul fitri yang juga biasa disebut hari lebaran menjadi hari bubaran dengan arti: bubar puasanya, bubar pula ke masjidnya, bubar baca Qur’annya, dan seterusnya dan seterusnya. Artinya bubar Ramadhan-nya berarti bubar pula ketaatannya (?). Sementara itu banyak kalangan yang memaknai dan memahami hari raya lebaran ini hampir hanya sebagai hari yang identik dengan segala yang serba baru dan anyar; baju baru, celana baru, jilbab baru, dan lain-lain yang serba baru. Bahkan ada juga sebagian masyarakat kita yang tidak memahami hari raya Idul Fitri melainkan sekadar sebagai ajang pesta kembang api dan ‘perang’ petasan! Meskipun yang disebutkan terakhir ini sudah sangat berkurang sekarang jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

Sebagaimana, berdasarkan fakta dan realita kebiasaan masyarakat kita, selama ini telah terbangun opini publik yang rasanya sangat sulit untuk diubah, yakni bahwa hari idul fitri itu sama dengan hari mudik dan pulang kampung massal untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan. Tapi disini, tentu bukan mangan gak mangan ngumpul, tapi justru ngumpul-ngumpul untuk mangan-mangan, karena pada hari raya hampir bisa dipastikan di setiap rumah keluarga muslim makanan dan jajanan selalu banyak dan bermacam ragam. Disamping itu telah terbentuk pula kebiasaan yang sudah merata di masyarakat kita bahwa, hari idul fitri adalah hari salam salaman, hari maaf maafan, hari saling beranjang sana dan bersilaturrahim antar keluarga, kerabat, handai tolan, tetangga dan sahabat.

Itu adalah sekelumit gambaran tentang beragam pemaknaan, penyikapan dan fenomena seputar hari raya idul fitri di masyarakat kita. Tentu masih banyak lagi yang lainnya. Dan tentu saja bukan berarti itu semua salah. Sebagiannya adalah benar, baik, positif dan justru merupakan salah satu sunnah hasanah (kebiasaan baik) yang harus tetap dipertahankan, seperti kebiasaan silaturrahim itu misalnya. Namun jika yang kita pahami dan dapatkan dari idul fitri yang merupakan penutup dan sekaligus pelengkap ibadah Ramadhan, hanyalah yang seperti itu saja, tentu sangat tidak tepat.

Karena Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan langsung oleh Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: “مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟” قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر” (رواه أبو داود والنسائي وأحمد وابن حبّان).

Dari Anas dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus yang mereka rayakan dengan permainan, maka beliau bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?” mereka menjawab; “Kami biasa merayakan keduanya dengan permainan semasa masih Jahiliyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Iedul Adha) dan hari raya Iedul fithri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa-i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).

Dan kedua hari raya Islam tersebut dikaitkan dan digandengkan dengan dua rukun utama ajaran Islam yakni: puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah di Tanah Suci Mekkah. Maka Idul Fitri dengan demikian – sebagaimana Idul Adha – adalah merupakan salah satu diantara hari-hari dan syi’ar-syi’ar Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan sikap penuh rasa ibadah, pemuliaan dan pengagungan – dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti ketaqwaan hati kita. Allah Ta’ala berfirman

”Begitulah, dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu termasuk (bukti) ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj : 32).

Nah, sebagai salah satu syi’ar Allah yang istimewa, tentu saja idul fitri memiliki muatan makna dan kandungan hikmah yang banyak dan istimewa pula, dan yang sangat kita butuhkan sebagai bekal utama dalam perjalanan hidup kita selanjutnya pasca Ramadhan.

Dan dalam kesempatan khutbah kali ini, saya ingin mengajak para jamaah dan seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk mentadabburi dan merenungkan tentang beberapa hikmah besar di balik momentum syi’ar hari raya idul fitri ini.

1. Hikmah Kegembiraan dan Kesyukuran

Hikmah pertama yang sangat menonjol dari momen idul fitri adalah hikmah kegembiraan dan kesyukuran. Ya, semua kita bergembira dan bersuka ria saat menyambut Idul Fitri seperti sekarang ini. Dan memang dibenarkan bahkan disunnahkan kita bergembira, berbahagia dan bersuka cita pada hari ini. Karena makna dari kata ‘ied itu sendiri adalah hari raya, hari perayaan, hari yang dirayakan. Dan perayaan tentu identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menegaskan itu dalam hadits shahihnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: (إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي) لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ” (متّفق عليه).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ‘azza wajalla berfirman; ‘Selain puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang langsung akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’ Dan bagi orang yang berpuasa ada dua momen kegembiraan: kebahagiaan ketika ia berbuka (baca: berhari raya fitri), dan kegembiraan lain ketika ia bertemu dengan Rabb-Nya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma kesturi.” (HR. Muttafaq ’alaih).

Tapi yang perlu menjadi perenungan, introspeksi dan pertanyaan kita adalah: kegembiraan seperti apakah yang harus kita miliki dan tunjukkan pada hari raya fitri seperti saat ini? Dan jawabannya bahwa, kegembiraan yang harus kita miliki dan rasakan haruslah merupakan kegembiraan syukur kepada Allah yang telah mengkaruniakan taufiq kepada kita untuk bisa mengoptimalkan pengistimewaan Ramadhan dengan amal-amal yang serba istimewa, dalam rangka menggapai taqwa yang istimewa. Dan bukan kegembiraan lainnya misalnya yang muncul karena merasa telah lepas dari Ramadhan yang disikapi sebagai bulan beban yang serba memberatkan, mengekang dan membelenggu!

Itulah kebembiraan kita sebagai orang beriman: gembira karena ketaatan, kebaikan dan kesalehan. Dan bukan gembira karena sebaliknya, karena kemaksiatan, keburukan dan kejahatan. Seperti yang terjadi di zaman modern seperti sekarang ini, dimana banyak orang yang justru gembira dan bangga dengan kemaksiatan dan penyimpangannya. Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan bahwa,

“مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ، وَ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ” (رواه الطّبراني).

”Barangsiapa bersenang hati dengan amal kebaikannya, dan bersedih hati dengan keburukan yang diperbuatnya, maka berarti dia orang beriman” (HSR Ath-Thabrani).

Begitu pula kegembiraan orang berima adalah kegembiraan karena syukur atas berbagai kenikmatan Allah yang tak terhitung. Seperti firman-Nya yang artinya):

“Dan jika kamu mau menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya” (QS. Ibrahim [14]: 34; QS. An-Nahl [16]: 18).

Dan nikmat yang paling utama tentulah nikmat hidayah, nikmat keimanan, nikmat keislaman dan nikmat ketaatan.

2. Hikmah Ketauhidan, Keimanan dan Ketaqwaan

Dalam menyambut ‘Iedul Fithri, disunnahkan bagi kita untuk banyak mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid sebagai bentuk penegasan dan pembaharuan deklarasi iman dan tauhid. Itu berarti bahwa identitas iman dan tauhid harus selalu kita perbaharui dan kita tunjukkan, termasuk dalam momen-momen kegembiraan dan perayaan, dimana biasanya justru kebanyakan orang lalai dari berdzikir dan mengingat Allah.

“… dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa Ramadhan), dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya yang diberikan kepadamu, dan supaya kamu (lebih) bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).

Seperti juga yang diperintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saat memperoleh karunia kenikmatan puncak yang telah diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh beliau dan para sahabat, berupa kemenangan dakwah Islam yang gilang gemilang, penaklukkan kota Mekkah dan berbondong-bondongnya masyarakat Jazirah Arab dalam memeluk Islam. Dimana dalam rangka mensyukuri dan merayakan kemenangan puncak itu, beliau justru diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid dan beristighfar.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (penaklukan Mekkah).Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Maka (sebagai bentuk syukur) bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan beristighfarlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat” (QS. An-Nashr: 1-3).

Nah jika kita tetap banyak bertakbir, bertasbih, bertahmid dan bertahlil serta berdzikir mengagungkan Allah, pada momen kemenangan, keberhasilan, kegembiraan dan perayaan – yang biasanya melalaikan – maka harapannya, pada momen-momen dan kesempatan-kesempatan lain, insyaa-allah akan lebih mudah lagi bagi kita untuk bisa menjaga dan melakukan itu semua.

Maka ma’asyiral muslimin, setelah ditempa dan ditarbiyah di bulan keimanan, dan dengan bekal taqwa lebih istimewa yang telah kita raih darinya, marilah dalam perjalanan hidup selanjutnya, kita jaga, kita buktikan dan kita tunjukkan selalu identitas keimanan, keislaman, ketaqwaan dan kedekatan kita dengan Allah ‘Azza wa Jalla.

Karena itulah bukti bahwa, kita telah berhasil dan sakses dalam menjalani ibadah puasa beserta seluruh rangkaian amal ibadah yang menyertainya selama bulan Ramadhan. Bukankah tujuan dan goal utama dari ibadah Ramadhan adalah untuk mendapatkan ijazah taqwa ?

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu (lebih) bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Oleh karena itu, selepas Ramadhan ini, dan pada momen iedul fitri ini, kita harus terlahir kembali menjadi pribadi-pribadi muslim dan muslimah baru yang lebih murni tauhidnya, lebih indah imannya, dan lebih istimewa taqwanya, bagi kehidupan yang lebih islami dan lebih baik, dalam diri pribadi, dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa dan negara.

3. Hikmah Kefitrahan

Biasa juga dikatakan bahwa, dengan hadirnya Iedul fitri berarti kita kaum muslimin kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian. Dan itu benar. Karena jika benar-benar dioptimalkan, maka Ramadhan dengan segala amaliah istimewanya adalah salah satu momentum terbaik bagi peleburan dosa dan penghapusan noda yang mengotori hati dan jiwa kita serta membebani diri kita selama ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متّفق علَيْه).

Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Muttafaq ‘alaih).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melakukan qiyamullail pada bulan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Muttafaq ‘alaih).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan qiyamullail pada (malam) lailatul qadar (mengisi dengan ibadah) karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu… “ (HR. Muttafaq ‘alaih).

Nah setelah kebersihan diri, kesucian jiwa dan kefitran hati itu kita dapatkan kembali, sehingga kita menjadi bak bayi suci yang baru dilahirkan ibunya, atau ibarat lembar kertas putih nan bersih, marilah pada hari raya fitri ini kita tuluskan niat, bulatkan tekad dan kuatkan semangat untuk menjaga kebersihan, kesucian dan kefitrahan itu seterusnya dalam hidup kita. Sehingga sebisa mungkin jangan lagi kembali kepada dosa-dosa yang akan membuat noda-noda baru. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.

4. Hikmah Kepedulian

Islam adalah agama peduli. Oleh karenanya uammatnyapun adalah ummat peduli. Dan sifat serta karakter kepedulian itu begitu tampak nyata dan terbukti secara mencolok selama bulan mulia yang baru saja berlalu. Dimana semangat berbagi dan spirit memberi melaui sunnah berinfak dan bersedekah serta kewajiban berzakat, begitu indah menghiasi hari-hari penuh peduli sepanjang bulan Ramadhan. Dan itu semua tidak lain dalam rangka meniru dan mencontoh keteladanan terbaik dari Baginda Rasul tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ (متَّفق علَيْه).

Dari Ibnu ‘Abbas berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling dermawan, lebih-lebih pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril ‘alaihis salam menemuinya, dan adalah Jibril ‘alaihis salam mendatanginya setiap malam di bulan Ramadlan, untuk bertadarus Al Qur’an dengan beliau. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih ermawan dengan kebajikan daripada angin yang bertiup (HR. Muttafaq ‘alaih).

Dan kewajiban kita sekarang, di hari fitri ini, adalah menjaga keistiqamahan dengan melanjutkan semangat berbagi dan karakter memberi sebagai bukti taqwa ini, pasca Ramadhan pada hari-hari kehidupan kita selanjutnya.

Karena bukankan kita berbagi adalah dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan? Bukankah kita memberi adalah untuk mereka-mereka yang menunggu uluran tangan? Bukankah kita berinfak, bersedekah dan berzakat, disamping untuk melaksanakan sunnah dan menunaikan kewajiban, adalah untuk menutup kebutuhan ummat dan memenuhi kemaslahatan Islam? Nah jika pasca Ramadhan kita berhenti berbagi dan memberi, apakah berarti bahwa, semua yang membutuhkan kepedulian kita itu hanya ada di bulan Ramadhan, dan langsung hilang tanpa sisa begitu bulan suci berakhir?

Tentu saja tidak! Maka mari kita jaga dan pertahankan hikmah kepedulian ini, sebagai bukti taqwa dan sekaligus wujud syukur yang telah kita raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang baru saja berlalu.

5. Hikmah Kebersamaan dan Persatuan

Selama Ramadhan, suasana dan nuansa kebersamaan serta persatuan ummat begitu kental, begitu terasa dan begitu indah. Mengawali puasa bersama-sama (seharusnya dan sewajibnya), bertarawih bersama (disamping jamaah shalat lima waktu juga lebih banyak selama Ramadhan), bertadarus bersama, berbuka bersama, beri’tikaf bersama, berzakat fitrah bersama, dan beriedul fitri bersama (semestinya!).

Dan hal itu karena memang ibadah dan amaliah Ramadhan serta ‘Iedul Fithri adalah bersifat jama’iyah, kolektif, dan serba bersama-sama. Tidak bisa dan tidak boleh sendiri-sendiri.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ” قَالَ أَبُو عِيسَى وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ (رواه التّرمذيّ وأبو داود وابن ماجة، وصحّحه أحمد شاكر والألبانيّ).

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Berpuasa itu adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa (secara bersama-sama), dan beriedul fitri itu adalah pada hari dimana kalian semua beeiedul fitri (secara bersama-sama), demikian juga dengan Iedul Adlha, yaitu pada hari dimana kalian semuanya beriedul adha (secara bersama-sama).” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani. Imam Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata: sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa maksudnya, sesungguhnya shaum dan iedul fitri (dan juga iedul adha – pen.) itu (harus) bersama jama’ah dan mayoritas ummat manusia (ummat Islam).

Oleh karena itu kita semua patut bergembira dan bersyukur setiap kali bisa memulai puasa Ramadhan secara serempak, berbareng dan bersama-sama, tanpa ada perbedaan dan perselisihan yang berarti ( kecuali dari beberapa kelompok kecil Ummat yang tetap “istiqamah” dengan pilihan “madzhab” uniknya masing-masing). Begitu pula dalam berbahagia menyambut dan merayakan ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha, saat terjadi secara serempak. Dimana nuansa kebersamaan dan persatuan terasa begitu indah. Suasana kegembiraan dan rasa kebahagianpun tampak demikian total dan seakan sempurna. Dan itulah memang esensi dan hakekat makna berhari raya dan beriedul fitri.

Meskipun sebenarnya masih ada saja yang mengganjal dan terasa kurang plong. Yakni karena terjadinya kebersamaan dan kesamaan dalam penetapan awal Ramadhan dan atau ‘Iedul Fitri serta ‘Iedul Adha khusus di negeri ini sampai detik ini, masih bersifat by accident (baca: by ketepatan dan kebetulan, dimana secara ketepatan dan kebetulan, baik penganut madzhab hisab maupun rukyah sama-sama menetapkan keputusan yang sama.), dan belum bersifat by design (baca: by kesepakatan antar seluruh atau mayoritas kaum muslimin bersama Pemerintah berdasarkan pola dan kaidah penyatuan tertentu). Padahal kondisi terakhir inilah yang wajib terjadi, dan yang selama ini masih selalu sangat kita harap-harap, tunggu-tunggu dan angan-angankan.

Karena sebelum tercapainya sebuah pola kesepakatan tertentu itu, berdasarkan fikih toleransi dan kompromi disamping tentu keluasan wawasan, kelapangan dada, kedewasaan sikap dan semangat penyatuan, maka perbedaan dan perselisihan – di tataran penerapan – masih selalu saja sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu, ketika hilal berada pada posisi yang “tidak aman”. Sehingga terjadinya perbedaan dan perselisihan itupun akan selalu terulang lagi dan lagi. Dan, akibatnya, dengan perselisihan yang belum mampu ditoleransikan dan dikompromikan itu, ibadah-ibadah yang semestinya menjadi syi’ar ukhuwah, kebersamaan dan persatuan kaum muslimin tersebut, justru bisa berubah menjadi simbol ananiyah (egoisme), ‘ashabiyah (fanatisme) dan perpecahan antar kelompok-kelompok Umat.

Maka marilah hikmah kebersamaan dan persatuan yang menjadi salah satu ruh ibadah Ramadhan dan esensi iedul fitri ini, kita jaga, pertahankan dan tingkatkan terus, sehingga benar-benar menjadi karakter tetap diri kita sebagai kaum mukminin yang senantiasa bersaudara secara harmonis dan mesra.

”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujuraat: 10).

Dan tentu kita semua tahu dan sadar bahwa, persaudaraan, kebersamaan serta persatuan adalah bagian terpenting dari pilar kekuatan dan kekokohan ummat Islam, yang wajib terus menjadi idealita dan cita-cita setiap kita untuk direalisir dan diwujudkan.

Itulah 5 hikmah penting dari amaliah ibadah Ramadhan dan keindahan iedul fitri yang seharusnya kita nikmati dan dapatkan. Semoga kita semua selalu bisa meraup bagian terbaik dan terbanyak dari hikmah-hikmah besar itu. Dan selanjutnya terus bisa mempertahankan dan meningkatkannya. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

5 Hikmah Idul Fitri



IDUL FITRI selalu hadir sebagai penutup ibadah puasa Ramadhan setiap tahun. Sudah barang tentu kita semua bersama seluruh kaum muslimin senantiasa menyambut dan merayakannya dengan rasa penuh kegembiraan, keceriaan, kebahagiaan dan kesuka citaan. Namun yang perlu menjadi pertanyaan adalah: sudah benarkah sikap dan cara kita selama ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Ini yang harus selalu menjadi bahan renungan dan muhasabah (introspeksi atau evaluasi diri) kita setiap saat, khususnya setiap kali kita berjumpa dengan Idul Fitri seperti hari ini.

Mari kita tengok sejenak beragam pemaknaan dan penyikapan yang ada di masyarakat kita terhadap hari raya idul fitri ini. Diantara masyarakat ada yang memelesetkan idul fitri yang juga biasa disebut hari lebaran menjadi hari bubaran dengan arti: bubar puasanya, bubar pula ke masjidnya, bubar baca Qur’annya, dan seterusnya dan seterusnya. Artinya bubar Ramadhan-nya berarti bubar pula ketaatannya (?). Sementara itu banyak kalangan yang memaknai dan memahami hari raya lebaran ini hampir hanya sebagai hari yang identik dengan segala yang serba baru dan anyar; baju baru, celana baru, jilbab baru, dan lain-lain yang serba baru. Bahkan ada juga sebagian masyarakat kita yang tidak memahami hari raya Idul Fitri melainkan sekadar sebagai ajang pesta kembang api dan ‘perang’ petasan! Meskipun yang disebutkan terakhir ini sudah sangat berkurang sekarang jika dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.

Sebagaimana, berdasarkan fakta dan realita kebiasaan masyarakat kita, selama ini telah terbangun opini publik yang rasanya sangat sulit untuk diubah, yakni bahwa hari idul fitri itu sama dengan hari mudik dan pulang kampung massal untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan. Tapi disini, tentu bukan mangan gak mangan ngumpul, tapi justru ngumpul-ngumpul untuk mangan-mangan, karena pada hari raya hampir bisa dipastikan di setiap rumah keluarga muslim makanan dan jajanan selalu banyak dan bermacam ragam. Disamping itu telah terbentuk pula kebiasaan yang sudah merata di masyarakat kita bahwa, hari idul fitri adalah hari salam salaman, hari maaf maafan, hari saling beranjang sana dan bersilaturrahim antar keluarga, kerabat, handai tolan, tetangga dan sahabat.

Itu adalah sekelumit gambaran tentang beragam pemaknaan, penyikapan dan fenomena seputar hari raya idul fitri di masyarakat kita. Tentu masih banyak lagi yang lainnya. Dan tentu saja bukan berarti itu semua salah. Sebagiannya adalah benar, baik, positif dan justru merupakan salah satu sunnah hasanah (kebiasaan baik) yang harus tetap dipertahankan, seperti kebiasaan silaturrahim itu misalnya. Namun jika yang kita pahami dan dapatkan dari idul fitri yang merupakan penutup dan sekaligus pelengkap ibadah Ramadhan, hanyalah yang seperti itu saja, tentu sangat tidak tepat.

Karena Idul Fitri dan Idul Adha adalah dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan langsung oleh Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum Islam datang.

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: “مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟” قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْر” (رواه أبو داود والنسائي وأحمد وابن حبّان).

Dari Anas dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di Madinah, sedangkan penduduknya memiliki dua hari khusus yang mereka rayakan dengan permainan, maka beliau bersabda: “Apakah maksud dari dua hari ini?” mereka menjawab; “Kami biasa merayakan keduanya dengan permainan semasa masih Jahiliyah.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari kedua hari tersebut, yaitu hari (raya) kurban (Iedul Adha) dan hari raya Iedul fithri.” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa-i, Ahmad dan Ibnu Hibban ).

Dan kedua hari raya Islam tersebut dikaitkan dan digandengkan dengan dua rukun utama ajaran Islam yakni: puasa Ramadhan dan haji ke Baitullah di Tanah Suci Mekkah. Maka Idul Fitri dengan demikian – sebagaimana Idul Adha – adalah merupakan salah satu diantara hari-hari dan syi’ar-syi’ar Allah yang harus kita sambut dan rayakan dengan sikap penuh rasa ibadah, pemuliaan dan pengagungan – dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti ketaqwaan hati kita. Allah Ta’ala berfirman

”Begitulah, dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu termasuk (bukti) ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj : 32).

Nah, sebagai salah satu syi’ar Allah yang istimewa, tentu saja idul fitri memiliki muatan makna dan kandungan hikmah yang banyak dan istimewa pula, dan yang sangat kita butuhkan sebagai bekal utama dalam perjalanan hidup kita selanjutnya pasca Ramadhan.

Dan dalam kesempatan khutbah kali ini, saya ingin mengajak para jamaah dan seluruh kaum muslimin dan muslimat untuk mentadabburi dan merenungkan tentang beberapa hikmah besar di balik momentum syi’ar hari raya idul fitri ini.

1. Hikmah Kegembiraan dan Kesyukuran

Hikmah pertama yang sangat menonjol dari momen idul fitri adalah hikmah kegembiraan dan kesyukuran. Ya, semua kita bergembira dan bersuka ria saat menyambut Idul Fitri seperti sekarang ini. Dan memang dibenarkan bahkan disunnahkan kita bergembira, berbahagia dan bersuka cita pada hari ini. Karena makna dari kata ‘ied itu sendiri adalah hari raya, hari perayaan, hari yang dirayakan. Dan perayaan tentu identik dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah menegaskan itu dalam hadits shahihnya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: (إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي) لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِيهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ” (متّفق عليه).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap amal anak Adam dilipatgandakan pahalanya. Satu macam kebaikan diberi pahala sepuluh hingga tujuh ratus kali. Allah ‘azza wajalla berfirman; ‘Selain puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku-lah yang langsung akan memberinya pahala. Sebab, ia telah meninggalkan nafsu syahwat dan nafsu makannya karena-Ku.’ Dan bagi orang yang berpuasa ada dua momen kegembiraan: kebahagiaan ketika ia berbuka (baca: berhari raya fitri), dan kegembiraan lain ketika ia bertemu dengan Rabb-Nya. Sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih wangi di sisi Allah daripada aroma kesturi.” (HR. Muttafaq ’alaih).

Tapi yang perlu menjadi perenungan, introspeksi dan pertanyaan kita adalah: kegembiraan seperti apakah yang harus kita miliki dan tunjukkan pada hari raya fitri seperti saat ini? Dan jawabannya bahwa, kegembiraan yang harus kita miliki dan rasakan haruslah merupakan kegembiraan syukur kepada Allah yang telah mengkaruniakan taufiq kepada kita untuk bisa mengoptimalkan pengistimewaan Ramadhan dengan amal-amal yang serba istimewa, dalam rangka menggapai taqwa yang istimewa. Dan bukan kegembiraan lainnya misalnya yang muncul karena merasa telah lepas dari Ramadhan yang disikapi sebagai bulan beban yang serba memberatkan, mengekang dan membelenggu!

Itulah kebembiraan kita sebagai orang beriman: gembira karena ketaatan, kebaikan dan kesalehan. Dan bukan gembira karena sebaliknya, karena kemaksiatan, keburukan dan kejahatan. Seperti yang terjadi di zaman modern seperti sekarang ini, dimana banyak orang yang justru gembira dan bangga dengan kemaksiatan dan penyimpangannya. Dalam sebuah riwayat hadits disebutkan bahwa,

“مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ، وَ سَاءَتْهُ سَيِّئَتُهُ، فَهُوَ مُؤْمِنٌ” (رواه الطّبراني).

”Barangsiapa bersenang hati dengan amal kebaikannya, dan bersedih hati dengan keburukan yang diperbuatnya, maka berarti dia orang beriman” (HSR Ath-Thabrani).

Begitu pula kegembiraan orang berima adalah kegembiraan karena syukur atas berbagai kenikmatan Allah yang tak terhitung. Seperti firman-Nya yang artinya):

“Dan jika kamu mau menghitung nikmat-nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya” (QS. Ibrahim [14]: 34; QS. An-Nahl [16]: 18).

Dan nikmat yang paling utama tentulah nikmat hidayah, nikmat keimanan, nikmat keislaman dan nikmat ketaatan.

2. Hikmah Ketauhidan, Keimanan dan Ketaqwaan

Dalam menyambut ‘Iedul Fithri, disunnahkan bagi kita untuk banyak mengumandangkan takbir, tahlil, tasbih dan tahmid sebagai bentuk penegasan dan pembaharuan deklarasi iman dan tauhid. Itu berarti bahwa identitas iman dan tauhid harus selalu kita perbaharui dan kita tunjukkan, termasuk dalam momen-momen kegembiraan dan perayaan, dimana biasanya justru kebanyakan orang lalai dari berdzikir dan mengingat Allah.

“… dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa Ramadhan), dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas hidayah-Nya yang diberikan kepadamu, dan supaya kamu (lebih) bersyukur” (QS. Al-Baqarah: 185).

Seperti juga yang diperintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saat memperoleh karunia kenikmatan puncak yang telah diidam-idamkan selama bertahun-tahun oleh beliau dan para sahabat, berupa kemenangan dakwah Islam yang gilang gemilang, penaklukkan kota Mekkah dan berbondong-bondongnya masyarakat Jazirah Arab dalam memeluk Islam. Dimana dalam rangka mensyukuri dan merayakan kemenangan puncak itu, beliau justru diperintahkan untuk bertasbih, bertahmid dan beristighfar.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan (penaklukan Mekkah).Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, Maka (sebagai bentuk syukur) bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan beristighfarlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat” (QS. An-Nashr: 1-3).

Nah jika kita tetap banyak bertakbir, bertasbih, bertahmid dan bertahlil serta berdzikir mengagungkan Allah, pada momen kemenangan, keberhasilan, kegembiraan dan perayaan – yang biasanya melalaikan – maka harapannya, pada momen-momen dan kesempatan-kesempatan lain, insyaa-allah akan lebih mudah lagi bagi kita untuk bisa menjaga dan melakukan itu semua.

Maka ma’asyiral muslimin, setelah ditempa dan ditarbiyah di bulan keimanan, dan dengan bekal taqwa lebih istimewa yang telah kita raih darinya, marilah dalam perjalanan hidup selanjutnya, kita jaga, kita buktikan dan kita tunjukkan selalu identitas keimanan, keislaman, ketaqwaan dan kedekatan kita dengan Allah ‘Azza wa Jalla.

Karena itulah bukti bahwa, kita telah berhasil dan sakses dalam menjalani ibadah puasa beserta seluruh rangkaian amal ibadah yang menyertainya selama bulan Ramadhan. Bukankah tujuan dan goal utama dari ibadah Ramadhan adalah untuk mendapatkan ijazah taqwa ?

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu (lebih) bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Oleh karena itu, selepas Ramadhan ini, dan pada momen iedul fitri ini, kita harus terlahir kembali menjadi pribadi-pribadi muslim dan muslimah baru yang lebih murni tauhidnya, lebih indah imannya, dan lebih istimewa taqwanya, bagi kehidupan yang lebih islami dan lebih baik, dalam diri pribadi, dalam keluarga, dalam masyarakat, bangsa dan negara.

3. Hikmah Kefitrahan

Biasa juga dikatakan bahwa, dengan hadirnya Iedul fitri berarti kita kaum muslimin kembali kepada fitrah, kembali kepada kesucian. Dan itu benar. Karena jika benar-benar dioptimalkan, maka Ramadhan dengan segala amaliah istimewanya adalah salah satu momentum terbaik bagi peleburan dosa dan penghapusan noda yang mengotori hati dan jiwa kita serta membebani diri kita selama ini.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متّفق علَيْه).

Dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Muttafaq ‘alaih).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melakukan qiyamullail pada bulan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala (dan ridha Allah), maka niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. (HR. Muttafaq ‘alaih).

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ” (متَّفق علَيْه).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang melakukan qiyamullail pada (malam) lailatul qadar (mengisi dengan ibadah) karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu… “ (HR. Muttafaq ‘alaih).

Nah setelah kebersihan diri, kesucian jiwa dan kefitran hati itu kita dapatkan kembali, sehingga kita menjadi bak bayi suci yang baru dilahirkan ibunya, atau ibarat lembar kertas putih nan bersih, marilah pada hari raya fitri ini kita tuluskan niat, bulatkan tekad dan kuatkan semangat untuk menjaga kebersihan, kesucian dan kefitrahan itu seterusnya dalam hidup kita. Sehingga sebisa mungkin jangan lagi kembali kepada dosa-dosa yang akan membuat noda-noda baru. Semoga Allah selalu memberikan kekuatan, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin.

4. Hikmah Kepedulian

Islam adalah agama peduli. Oleh karenanya uammatnyapun adalah ummat peduli. Dan sifat serta karakter kepedulian itu begitu tampak nyata dan terbukti secara mencolok selama bulan mulia yang baru saja berlalu. Dimana semangat berbagi dan spirit memberi melaui sunnah berinfak dan bersedekah serta kewajiban berzakat, begitu indah menghiasi hari-hari penuh peduli sepanjang bulan Ramadhan. Dan itu semua tidak lain dalam rangka meniru dan mencontoh keteladanan terbaik dari Baginda Rasul tercinta shallallahu ‘alaihi wasallam.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ (متَّفق علَيْه).

Dari Ibnu ‘Abbas berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling dermawan, lebih-lebih pada bulan Ramadlan ketika malaikat Jibril ‘alaihis salam menemuinya, dan adalah Jibril ‘alaihis salam mendatanginya setiap malam di bulan Ramadlan, untuk bertadarus Al Qur’an dengan beliau. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jauh lebih ermawan dengan kebajikan daripada angin yang bertiup (HR. Muttafaq ‘alaih).

Dan kewajiban kita sekarang, di hari fitri ini, adalah menjaga keistiqamahan dengan melanjutkan semangat berbagi dan karakter memberi sebagai bukti taqwa ini, pasca Ramadhan pada hari-hari kehidupan kita selanjutnya.

Karena bukankan kita berbagi adalah dengan saudara-saudara kita yang membutuhkan? Bukankah kita memberi adalah untuk mereka-mereka yang menunggu uluran tangan? Bukankah kita berinfak, bersedekah dan berzakat, disamping untuk melaksanakan sunnah dan menunaikan kewajiban, adalah untuk menutup kebutuhan ummat dan memenuhi kemaslahatan Islam? Nah jika pasca Ramadhan kita berhenti berbagi dan memberi, apakah berarti bahwa, semua yang membutuhkan kepedulian kita itu hanya ada di bulan Ramadhan, dan langsung hilang tanpa sisa begitu bulan suci berakhir?

Tentu saja tidak! Maka mari kita jaga dan pertahankan hikmah kepedulian ini, sebagai bukti taqwa dan sekaligus wujud syukur yang telah kita raih melalui seluruh amaliah Ramadhan yang baru saja berlalu.

5. Hikmah Kebersamaan dan Persatuan

Selama Ramadhan, suasana dan nuansa kebersamaan serta persatuan ummat begitu kental, begitu terasa dan begitu indah. Mengawali puasa bersama-sama (seharusnya dan sewajibnya), bertarawih bersama (disamping jamaah shalat lima waktu juga lebih banyak selama Ramadhan), bertadarus bersama, berbuka bersama, beri’tikaf bersama, berzakat fitrah bersama, dan beriedul fitri bersama (semestinya!).

Dan hal itu karena memang ibadah dan amaliah Ramadhan serta ‘Iedul Fithri adalah bersifat jama’iyah, kolektif, dan serba bersama-sama. Tidak bisa dan tidak boleh sendiri-sendiri.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ” قَالَ أَبُو عِيسَى وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ: إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ الصَّوْمَ وَالْفِطْرَ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعُظْمِ النَّاسِ (رواه التّرمذيّ وأبو داود وابن ماجة، وصحّحه أحمد شاكر والألبانيّ).

Dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: ” Berpuasa itu adalah pada hari dimana kalian semua berpuasa (secara bersama-sama), dan beriedul fitri itu adalah pada hari dimana kalian semua beeiedul fitri (secara bersama-sama), demikian juga dengan Iedul Adlha, yaitu pada hari dimana kalian semuanya beriedul adha (secara bersama-sama).” (HR Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al-Albani. Imam Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata: sebagian ulama menafsirkan hadits ini bahwa maksudnya, sesungguhnya shaum dan iedul fitri (dan juga iedul adha – pen.) itu (harus) bersama jama’ah dan mayoritas ummat manusia (ummat Islam).

Oleh karena itu kita semua patut bergembira dan bersyukur setiap kali bisa memulai puasa Ramadhan secara serempak, berbareng dan bersama-sama, tanpa ada perbedaan dan perselisihan yang berarti ( kecuali dari beberapa kelompok kecil Ummat yang tetap “istiqamah” dengan pilihan “madzhab” uniknya masing-masing). Begitu pula dalam berbahagia menyambut dan merayakan ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha, saat terjadi secara serempak. Dimana nuansa kebersamaan dan persatuan terasa begitu indah. Suasana kegembiraan dan rasa kebahagianpun tampak demikian total dan seakan sempurna. Dan itulah memang esensi dan hakekat makna berhari raya dan beriedul fitri.

Meskipun sebenarnya masih ada saja yang mengganjal dan terasa kurang plong. Yakni karena terjadinya kebersamaan dan kesamaan dalam penetapan awal Ramadhan dan atau ‘Iedul Fitri serta ‘Iedul Adha khusus di negeri ini sampai detik ini, masih bersifat by accident (baca: by ketepatan dan kebetulan, dimana secara ketepatan dan kebetulan, baik penganut madzhab hisab maupun rukyah sama-sama menetapkan keputusan yang sama.), dan belum bersifat by design (baca: by kesepakatan antar seluruh atau mayoritas kaum muslimin bersama Pemerintah berdasarkan pola dan kaidah penyatuan tertentu). Padahal kondisi terakhir inilah yang wajib terjadi, dan yang selama ini masih selalu sangat kita harap-harap, tunggu-tunggu dan angan-angankan.

Karena sebelum tercapainya sebuah pola kesepakatan tertentu itu, berdasarkan fikih toleransi dan kompromi disamping tentu keluasan wawasan, kelapangan dada, kedewasaan sikap dan semangat penyatuan, maka perbedaan dan perselisihan – di tataran penerapan – masih selalu saja sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu, ketika hilal berada pada posisi yang “tidak aman”. Sehingga terjadinya perbedaan dan perselisihan itupun akan selalu terulang lagi dan lagi. Dan, akibatnya, dengan perselisihan yang belum mampu ditoleransikan dan dikompromikan itu, ibadah-ibadah yang semestinya menjadi syi’ar ukhuwah, kebersamaan dan persatuan kaum muslimin tersebut, justru bisa berubah menjadi simbol ananiyah (egoisme), ‘ashabiyah (fanatisme) dan perpecahan antar kelompok-kelompok Umat.

Maka marilah hikmah kebersamaan dan persatuan yang menjadi salah satu ruh ibadah Ramadhan dan esensi iedul fitri ini, kita jaga, pertahankan dan tingkatkan terus, sehingga benar-benar menjadi karakter tetap diri kita sebagai kaum mukminin yang senantiasa bersaudara secara harmonis dan mesra.

”Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujuraat: 10).

Dan tentu kita semua tahu dan sadar bahwa, persaudaraan, kebersamaan serta persatuan adalah bagian terpenting dari pilar kekuatan dan kekokohan ummat Islam, yang wajib terus menjadi idealita dan cita-cita setiap kita untuk direalisir dan diwujudkan.

Itulah 5 hikmah penting dari amaliah ibadah Ramadhan dan keindahan iedul fitri yang seharusnya kita nikmati dan dapatkan. Semoga kita semua selalu bisa meraup bagian terbaik dan terbanyak dari hikmah-hikmah besar itu. Dan selanjutnya terus bisa mempertahankan dan meningkatkannya. Aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

0 komentar:

Sabtu, 11 Agustus 2012

Bulan Ramadan adalah bulan yang sangat dinantikan oleh para pecinta akhirat. Hari-harinya penuh dengan segala keberkahan, setiap detik dan menit kita dipacu untuk tidak melewatkannya. Begitu mahal dan berharganya perjalanan dan ritme kehidupan selama bulan ramadhan ini. Alangkah ruginya apabila kita melepaskan peluang-peluang keemasan yang hadir di depan mata. Berikut adalah beberapa AMALAN SUNNAH DI BULAN RAMADHAN yang sangat dianjurkan selama melaksanakan ibadah puasa Ramadhan :

1. Menyegerakan berbuka puasa

Apabila telah yakin terbenamnya matahari yang menandakan masuknya waktu maghrib, maka disunahkan untuk segera melaksanakan buka puasa(ta’jilul fitri). Menyegerakan berbuka puasa hendaklah jadi prioritas ketika waktu maghrib sudah tiba, dalam keadaan apapun. Apabila kondisi cuaca mendung dan tidak dapat mengetahui posisi matahari maka untuk zaman sekarang kita bisa menggunakan jadwal waktu sholat dan imsakiyah puasa.

Diutamakan terlebih dahulu memakan makanan manis seperti tamr (kurma kering), rutob (kurma segar) dalam jumlah ganjil atau makanan manis yang lain.

فعن سَهْل بن سَعْد: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ، مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ”.

رواه البخاري ومسلم.

Sahabat Sahl bin Sa’d telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda; ” seseorang akan tetap berada dalam kebaikan apabila menyegerakan berbuka puasa.”[2]

فعن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

رواه أبو داود، والحاكم وصححه، والترمذي وحسنه.

BULAN KEUTAMAAN AMALAN PUASA RAMADHAN | HIKMAH SUCI RAMADHAN

Bulan Ramadan adalah bulan yang sangat dinantikan oleh para pecinta akhirat. Hari-harinya penuh dengan segala keberkahan, setiap detik dan menit kita dipacu untuk tidak melewatkannya. Begitu mahal dan berharganya perjalanan dan ritme kehidupan selama bulan ramadhan ini. Alangkah ruginya apabila kita melepaskan peluang-peluang keemasan yang hadir di depan mata. Berikut adalah beberapa AMALAN SUNNAH DI BULAN RAMADHAN yang sangat dianjurkan selama melaksanakan ibadah puasa Ramadhan :

1. Menyegerakan berbuka puasa

Apabila telah yakin terbenamnya matahari yang menandakan masuknya waktu maghrib, maka disunahkan untuk segera melaksanakan buka puasa(ta’jilul fitri). Menyegerakan berbuka puasa hendaklah jadi prioritas ketika waktu maghrib sudah tiba, dalam keadaan apapun. Apabila kondisi cuaca mendung dan tidak dapat mengetahui posisi matahari maka untuk zaman sekarang kita bisa menggunakan jadwal waktu sholat dan imsakiyah puasa.

Diutamakan terlebih dahulu memakan makanan manis seperti tamr (kurma kering), rutob (kurma segar) dalam jumlah ganjil atau makanan manis yang lain.

فعن سَهْل بن سَعْد: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ، مَا عَجَّلُوا الفِطْرَ”.

رواه البخاري ومسلم.

Sahabat Sahl bin Sa’d telah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda; ” seseorang akan tetap berada dalam kebaikan apabila menyegerakan berbuka puasa.”[2]

فعن أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ

رواه أبو داود، والحاكم وصححه، والترمذي وحسنه.

0 komentar:

animasi-bergerak-bendera-indonesia-0010
">See all posts'); document.write('

?max-results=10">

'); document.write("?max-results="+numposts1+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");
Diberdayakan oleh Blogger.
?">index'); document.write('

?max-results=10">Label 5

');
    ?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");

Mengenai Saya

anak singkong yang tak berhenti bermimpi cinta damai dan selalu setia

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Translate

Popular Posts

MITRA

back to top