Barangsiapa yang jernih hatinya, akan diperbaiki Allah pula pada yang nyata di wajahnya. ~Umar bin Khatab
10 Peran Penting Orangtua Dalam Pendidikan Seks Untuk Anak
Perkara mengajarkan tentang seksual ke anak itu memang
menjadi momok lumayan besar, ya, untuk orangtua. Sepertinya walaupun
sudah beberapa kali ikut seminar tetaaap saja menunda-nunda proses
pembelajaran itu. Dan tetap kaget ketika ditanya anak, walaupun udah
tahu jawabannya. Kalau masih bisa menghindar akan menghindar, deh.
Tapi setelah ikut
workshop dengan Najelaa Shihab di
Sekolah Cikal
kemarin, saya lumayan tercerah, kan, sih. Karena lebih mengerti tentang
garis besarnya, lebih ada bayangan tentang prosesnya dan semakin
menyadari bahwa pendidikan seksual ini erat kaitannya dengan
parenting skill kita secara keseluruhan. Walaupun tetap, sih, belum mulai juga :D.
Berikut beberapa poin yang ingin saya share di sini, ya.
1. Dulu vs Sekarang
Dorongan seks itu adalah sesuatu yang alamiah. Yang perlu
kita ingat, dorongannya lebih tinggi untuk anak-anak sekarang daripada
zaman kita kecil dulu. Kalau dulu kita baru melihat adegan ciuman ketika
SMP atau SD akhir, sekarang anak kecil sudah terpapar hal-hal tersebut
sejak balita dengan banyaknya sinetron dan terhubungnya mereka dengan
internet. Dan, sebenarnya di sekitar kita banyak hal-hal yang sifatnya
informasi seksualitas, tanpa kita sadari. Misalnya, ada penyanyi dengan
baju seksi di TV atau saat memgajak anak ke bioskop. Ya, sih, nontonnya
film anak kecil, tapi poster-poster di bioskop itu banyak sekali yang
vulgar, lho. Menonton atau membaca buku tentang princess juga
bisa dibilang informasi seksual. Ada adegan Snow White dicium oleh
pangeran di sana dan lain sebagainya. Jadi, kalau sikap kita santai
karena mikir anak masih kecil, ya, itu salah, sih, karena kita adu cepat
dengan sumber informasi yang lain.
2. Hilangkan rasa tabu
Yang merasa malu dan canggung itu kan kita sebagai orangtua. Anak, sih,
biasa saja. Ketika mereka menanyakan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan seksualitas, di pikiran mereka sama seperti saat menanyakan hal
lain. Pertanyaan “Bagaimana adik dibuat?”, untuk mereka sama seperti
“Kenapa kentut itu bau?”. Jadi ,santai saja!
3. Lengkapi diri dengan pengetahuan
Jadi, ya, Mommies, kalau ada yang suka bilang “adik bayi lahir dari
perut”, itu salah, ya :p. Yang benar, adik bayi keluar dari rahim, bukan
perut. Kalau perut, sih, laki-laki juga punya. Jadi anak harus tahu
bahwa ada organ-organ tubuh yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Biasakan juga menyebut organ tubuh sesuai nama benarnya:
penis dan vagina, supaya alat vital tersebut tidak berkesan ‘mainan’.
Karena kalau namanya diganti jadi ‘pee pee’, kan, jadi terdengar lebih
bercanda, yah. Terus, ketika mereka misalnya lapor ke gurunya kalo ‘pee
pee-nya sakit juga gurunya bisa bingung nggak mengerti apa yang
dimaksud. Ini penting juga kalau misalnya ada yang melakukan kekerasan
seksual dan dia melaporkan ke orang lain yang tidak tahu kosa katanya,
jadi orang tersebut cepat mengerti.
Terus .. pasti banyak, deh, yang anaknya senang lari-lari
keluar dari kamar mandi tanpa pakai baju dulu. Kita cenderung, “Eh, ayo
pakai baju dulu, dong, kan malu.” Padahal, si anak tidak merasa malu.
Jadi yang mesti ditekankan adalah ada bagian-bagian tubuh yang tidak
untuk diperlihatkan.
Harus tahu juga misalnya, mimpi basah itu apa, sih? Sering
ada kasus ketika anaknya mimpi basah malah diinterogasi, “Memang kamu
membayangkan apa sebelum tidur? Di mimpinya melakukan apa? Dengan
siapa?” Padahal, seringnya mereka juga tidak tahu mimpinya tentang apa
dan siapa.
4. No is a complete answer!
Ini yang jleb sekali untuk saya karena benar-benar baru kepikiran.
Menurut Mbak Elaa, kita harus menghargai kemampuan anak untuk bilang
tidak. Jadi, ketika anak lagi tidak mau berbagi mainannya, ya, biarkan
saja. Atau mungkin hal-hal lain. Nggak perlu ketika anak bilang ‘tidak’
lantas dibujuk sedemikian rupa supaya berubah pikiran. Kemampuan bilang
tidak ini adalah latihan untuk mereka di kemudian hari, bahwa akan ada
banyak momen di mana mereka harus berkata tidak. Misalnya, ketika diajak
mencoba narkoba oleh teman-temannya, diajak melakukan hubungan seksual
dan sebagainya. Mereka, kan, tidak perlu merasa memberi alasan panjang
lebar pada teman-temannya ketika mereka menolak. A firm NO is enough, no justification needed.
5. Hati-hati dengan apa yang diucapkan sehari-hari.
Seringnya tanpa kita sadari, kita sudah mengeluarkan kata-kata yang bisa
dikategorikan informasi seksual. Misalnya, anak perempuan kita memakai tanktop dan terucaplah, ‘”Ih, seksi banget, siih, bajunya”, tanpa maksud apa-apa.
Atau terkadang kita juga suka bercanda mengatakan “Memang pacar kamu di
sekolah siapa?” Jangan sampai mereka mengasosiasikan pacar dengan cinta.
Nanti, dikit-dikit cinta, kan, repot. Untuk anak yang sudah di Sekolah
Dasar, akan lebih bisa diberi pengertian kalo cinta itu seperti
ayah-ibu, cinta itu butuh waktu, komitmen dan usaha, berbeda dengan
hanya; tertarik.
Sering juga kan kita mendengar kucing ribut dan orang-orang di sekitar
berkomentar “Kucing kawin, tuuh, kucing kawin”. Nah, itu sebenarnya,
kan, sumber informasi seksual juga.
6. Hindarkan ancaman dan sogokan
Sama seperti kita harus menghormati ucapan tidak dari anak. Ancaman dan sogokan itu hanya solusi
short term yang
tidak memberikan efek bagus di kemudian hari. Bayangkan, kalau anak
kita gampang disogok, bukan nggak mungkin nanti dia terjerumus karena
sogokan yang dia terima, kan? Atau anak sudah merasa kerdil dengan
ancaman orangtua, jadi ketika diancam temannya atau orang dewasa lain
juga langsung
mengkeret dan tidak berani melawan. Pemahaman
bahwa orang dewasa pasti benar, juga harus dijauhkan, ya, Mommies karena
kita pun tahu bahwa orang dewasa itu nggak selalu benar ☺.
7. Selalu dalam konteks pernikahan
Jadi, ketika kita sedang membahas tentang hubungan seksual, selalu
tekankan bahwa ini hanya terjadi dalam pernikahan. Kaitkan juga dengan
norma agama. Tapi, nilai-nilai agama juga tidak cukup untuk membuat
mereka memutuskan untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Jadi, tetap harus dibekali dengan bahayanya seks di luar pernikahan,
penyakit-penyakit yang dapat timbul karenanya dan lain sebagainya.
8. Hati-hati dengan dunia virtual
Anonimitas di dunia virtual dapat membuat seseorang bersikap jauh
berbeda dengan kesehariannya. Jangankan untuk anak, yang dewasa pun
begitu. Sering, kan, kita mengalami bertemu orang yang di Twitter
cerewet, ternyata begitu bertemu muka, malah pendiam sekali. Sebaiknya,
anak jangan dibekali dengan smartphone terlalu dini. Umumnya, anak di bawah 11 tahun itu masih belum siap untuk menggunakan smartphone. Memang
sih mereka jago mengoperasikannya, tapi itu cuma jago motoriknya. Bukan
berarti mental dan emosinya sudah siap untuk terpapar oleh derasnya
informasi dari smartphone.
9. Kita tidak bisa mensterilkan anak dari kondisi ini
Jadi, kalau kita mengajak nonton film anak-anak dan ternyata ada adegan
ciumannya kita nggak perlu “Ayo, TUTUP MATA”. Pesan yang tersampaikan
adalah seks itu hal yang tabu untuk dibahas di keluarga kita. Lagipula
harusnya, sih, kalau memang itu film anak-anak, ciumannya tidak akan
seheboh orang dewasa, ya, mungkin hanya kecup sedikit dan konteksnya
adalah suami istri.
Karena kita tidak bisa mensterilkan, penting sekali untuk
mengajari anak tentang konsep diri, untuk mengenali emosinya, memilah
antara emosi dan tindakan, menghindari cemburu atau iri, tentang modesty,
pentingnya olahraga, dan lain sebagainya. Banyak yang harus
dipersiapkan untuk mematangkan kepribadian anak dan menyiapkan mereka
supaya tidak terjerumus. Korban kekerasan seksual biasanya adalah
anak-anak yang helpless, yang bergantung pada orang lain, tidak mengerti bahaya dan bagaimana melindungi dirinya sendiri.
10. Communication is the key!
Basi, ya, kedengerannya. Sepertinya, semua masalah memang akarnya
adalah komunikasi. Tapi memang benar, saya juga baru menyadari betapa
pentingnya komunikasi ini, karena komunikasi erat kaitannya dengan bonding. Komunikasi yang lancar dan meaningful akan
memudahkan segalanya. Salah satunya dalam proses memberi pengertian ke
anak tentang hubungan seksual. Kuantitas juga pastinya perlu, karena
sebaiknya percakapan tentang hubungan seksual terjadi out of the blue,
bukan pada waktu yang kita jadwalkan, dan itu hanya terjadi kalau kita
sering bertemu dengan anak. Hal ini dapat dimulai dari kecil, lho.
Ketika anak umur 2 tahun kita ajak untuk menengok teman yang baru
melahirkan di rumah sakit, misalnya. Diskusi seksual ini disesuaikan
dengan tingkatannya saja.
Yang perlu kita ingat, terkadang, tanpa kita sadari kita
menjadi penghambat komunikasi; seperti mengabaikan perasaan anak,
mengalihkan pembicaraan, memerintah, sarkasme, interogasi, memberi
nasehat yang seharusnya kita lakukan adalah mendengarkan.
0 komentar: