Senin, 19 November 2012

DARI MASA KE MASA PIP TREMAS PACITAN

Posted by http://smpm6klego.blogspot.com  |  at  06.49


A. Periode KH. Abdulloh 1862-1894Sepeninggal KH. Abdul Manan, maka pengasuh atau pimpinan digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdulloh. Pada masa kecilnya beliau mendapatkan pelajaran dasar dari ayahnya sendiri di Pondok Tremas.

Setelah cukup dewasa KH. Abdullloh diajak oleh ayahnya pergi ke Makkah Al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dan menetap di Makkah untuk menuntut ilmu. Setelah beberapa tahun di Makkah beliau kembali ke Tremas lagi, dan membantu ayahnya mengajar di Pondok Tremas.

Setelah Pondok Tremas mulai dikenal di daerah-daerah lain, dan kealiman serta keluasan ilmu yang dimiliki beliau, maka mulailah terlihat tanda-tanda bahwa Pondok Tremas yang dimulai dari ilalang dan bambu itu dikemudian hari akan membesar menjadi sebuah pondok yang sangat membahagiakan setiap orang yang mencintainya.

Demikianlah, dalam periode ini mulai berdatangan beberapa santri yang berasal dari daerah lain, seperti Salatiga, Purworejo, Kediri dan lain-lain. Pada waktu itu baik jalan Pacitan-Ponorogo maupun Pacitan-Solo belum ada kendaraan, sehingga orang yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan agama Islam (mengaji) ke Pondok Tremas harus berjalan kaki dengan melewati gunung-gunung dan hutan yang pada waktu itu masih cukup lebat.

Dapat dibayangkan betapa sukar dan beratnya perjalanan mereka waktu itu. Namun demikian, karena didorong oleh suatu keyakinan yang membaja bahwa perjalanan dalam rangka menuntut ilmu agama Islam adalah perjalanan suci, dimana kematian pada jalan ini mempunyai nilai yang sama dengan kematian jihad fisabilillah, maka keadaan alam Pacitan yang sangat berat itu tidak akan pernah melemahkan tekad mereka untuk sampai ke tempat tujuan. Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadist yang artinya :

Abu Darda’ dan Abu Hurairah RA. Berkata, Rosululloh SAW. Bersabda : “Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari oleh seseorang itu lebih kucintai daripada menjalankan sholat sunat seribu rakaat “. Kata mereka selanjutnya : Rosululloh SAW. Bersabda : “ Apabila kematian merenggut seorang pelajar yang sedang dalam keadaan menuntut ilmu, maka ia adalah mati syahid “. (Riwayat Al-Bazaar dan Thabrani)

Demikianlah serentak dengan semakin bertambahnya santri-santri dari daerah lain, maka kebutuhan akan tempatpun semakin mendesak dan terasa sangat perlu dibangun asrama baru untuk tempat tinggal mereka. Untuk memenuhi keperluan tersebut maka dibangunlah sebuah asrama di sebelah selatan jalan, yang di masa KH. Dimyathi terkenal dengan nama “Pondok Wetan“. Demikan juga dalam bidang pendidikan, pada masa KH. Abdulloh ini juga mengalami perkembangan, hal itu disebabkan karena santri lama yang sudah menamatkan kitab-kitab dasar perlu juga dilanjutkan, dan untuk itu harus dibacakan beberapa kitab yang lebih tinggi. Sedang santri lama yang sudah cukup pandai dapat diserahi membaca kitab-kitab dasar bagi santri baru, sementara kyai meneruskan membaca kitab lanjutan untuk santri lama. Begitulah perkembangan Pondok Tremas baik segi fisik maupun pendidikannya. Meskipun perkembangan pada masa KH. Abdulloh ini tidak begitu menyolok bila dibandingkan dengan keadaan Pondok Tremas pada masa KH. Abdul Manan, namun sepanjang KH. Abdulloh memimpin Pondok Tremas telah berhasil meletakkan suatau batu landasan sebagai pangkal berpijak kearah kemajuan dan kebesaran serta keharuman Pondok Tremas dikalangan pondok pesantren khususnya dan pendidikan Islam umumnya.

Keberhasilan KH. Abdulloh dalam meletakkan batu landasan tersebut adalah keberhasilan beliau dalam mendidik putra-putranya sehingga menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, tapi lebih daripada itu juga telah berhasil menyusun berbagai macam kitab yang bernilai dalam ilmu pengetahuan agama Islam, sehingga kemudian muncullah sebutan “Attarmasie“ yang memperoleh tempat tersendiri dalam dunia ilmu pengetahuan agama Islam di negara Arab.Barangkali karena pengalaman KH. Abdulloh dalam menuntut ilmu di Makkah, sehingga kemudian putra laki-lakinya semua dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Putra pertama yang dikirim ke Makkah bersamaan musin haji adalah Muhammad Mahfudz. Setelah mukim disana beliau menuntut ilmu dengan tekun dibawah asuhan guru utamanya yaitu Syeikh Abu Bakar Syatha sehingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram.

Setelah beberapa tahun Syeikh Mahfudz dikirim ke Makkah, KH. Abdulloh menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya dengan mengikut sertakan beberapa putranya yang lain, yaitu K. Dimyathi, K. Dahlan, K. Abdur Rozaq dengan maksud agar setelah selesai ibadah Haji mereka akan ditinggalkan di Makkah untuk menuntut ilmu dibawah bimbingan Syeikh Mahfudz dan beliau sendiri akan kembali ke Tremas untuk mengajar santri-santrinya yang selama menunaikan ibadah Haji ke Makkah, Pondok Tremas untuk sementara diserahkan kepada menantunya yang bernama Kyai Muhammad Zaed (Suami Nyai Tirib/Nyai khotijah). Namun apa boleh buat, rupanya Allah Swt. Menghendaki KH. Abdulloh kembali kehadirat-Nya di tanah suci Makkah Almukarromah. Hingga wafatlah pada hari senin malam selasa, 29 Sya’ban 1314 H.

Sepeninggal KH. Abdulloh, untuk beberapa lama Pondok Tremas masih dipimpin oleh Kyai Muhammad Zaed, sementara menanti kedatangan KH. Dimyathi yang kemudian akan meneruskan karya ayah dan kakeknya dalam mengabdi kepada agamanya.

Sementara itu KH. Dahlan setelah kembali dari Makkah kemudian dikawinkan dan diambil menantu oleh Kyai Shaleh Darat Semarang. Kemudian mukim disana hingga wafatnya pada hari Ahad, 7 syawal 1329 H. Dan kemudian dimakamkan di Bergota Semarang, dimana pusaranya berjejer dengan pusara Kyai Saleh Darat Semarang.

Adapun putra-putra KH. Abdulloh lainnya, sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, mereka juga memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Kalau KH. Dimyathi termashur karena kesuksesannya dalam membina dan mememajukan pondok, Maka KH. Muhammad Bakri teristemewa dangan Al-Qur’annya, dan KH. Abdurrozaq mempunyai kekhususan dalam bidang thoriqoh, dimana beliau menjadi seorang Mursyid yang mempunyai murid dimana-mana. Beliau wafat pada tanggal 3 April 1958, dan dimakamkan di Tremas

B.   Periode KH. Dimyathie 1894-1834Setelah kita ikuti perkembangan Pondok Tremas pada masa KH. Abdulloh dan bagaimana beliau berhasil mendidik putra-putranya menjadi ulama-ulama yang tangguh baik dalam ilmu maupun dalam amalnya, maka tibalah kini pada masa dimana Pondok tremas dipimpin oleh beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi. Suatu masa dimana Pondok Tremas telah mencatat perkembangan yang pesat, baik perkembangan fisiknya maupun perkembangan pendidikannya. Dan pada masa inilah Pondok Tremas berhasil melahirkan kader-kader ulama yang kemudian mempunyai peranan besar dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.

Semenjak masa KH. Abdulloh Pondok Tremas sudah mulai dikenal di daerah-daerah lain. Sehingga tahun kepopuleran dan kemashuran Pondok Tremas semakin bertambah, lebih-lebih setelah kitab Syeikh Mahfudz seperti yang kami sebutkan diatas mulai beredar di pulau Jawa dan di tanah Melayu dengan istilah “Attarmasie“, maka makin banyaklah orang-orang dari daerah lain yang berkeinginan kuat untuk untuk menuntut ilmu agama Islam di Pondok Tremas.

Dengan datangnya para santri yang semakin banyak maka timbullah kebutuhan tentang dibangunnnya asrama-asrama baru. Tetapi kali ini masalahnya tidak akan selesai begitu saja dengan dibangunnya asrama tersebut, sebab masalah lain yang berhubungan dengan suasana tata bangunan pondok harus dipikirkan pula, sehingga pembangunan asrama tersebut tidak akan mengganggu dan membawa akibat ketidakteraturan suasana. Berdasarkan pertimbangan inilah maka KH. Dimyathi kemudian mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan masjid yang sejak masa KH. Abdul Manan terletak disebelah timur dari masjid sekarang ketengah-tengah pekarangan.

Demikianlah perkembangan pembangunan pondok yang disebabkan makin bertambahnya santri, hingga pada waktu itu jumlah santri hampir mendekati 2000 orang. Seluruh tanah milik kyai hampir semuanya sudah didirikan bangunan-bangunan untuk asrama, baik disebelah selatan jalan, maupun disebelah utara jalan. Masing-masing asrama didirikan dan ditempati oleh santri-santri yang berasal dari satu daerah, oleh karenanya nama-nama pondok atau asrama pada masa itu tergantung dari santri yang bertempat di asrama tersebut, misalnya pondok Cirebon, pondok Pasuruan, pondok Tegal, pondok Solo, pondok Ngawi, pondok Malaysia, pondok Singapura dan sebagainya.

Disamping itu karena perkembangan pendidikan ilmiah juga semakin pesat, maka pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi ini pula didirikan sebuah gedung yang digunakan untuk madrasah. Hingga perkembangan ilmiah pada masa KH. Dimyathi ini sangat menyolok bila dibandingkan dengan masa sebelumnya. Pada tahun-tahun permulaan pengajian-pengajian masih ditangani langsung oleh kyai sendiri, tetapi setelah usia kyai bertambah lanjut maka ada beberapa kitab yang diserahkan kepada beberapa orang santri yang oleh KH. Dimyathi dianggap sudah mampu untuk membaca kitab dan menerangkan atau menjelaskan kepada santri yang lain.

Diantara kitab-kitab yang dibaca pada waktu itu banyak mengalami penambahan-penambahan, diantaranya adalah;
فتح المعين
    تعليم المتعلم
    احياء علوم الدين
    تفسير الجلالين
    الفية ابن مالك
    منهاج القويم
    صحيح البخارى
صحيح مسلم

Semua kitab-kitab itu diajarkan menurut sistem pengajian yang biasa berlaku di pondok pesantren pada umumnya, misalnya dipakai sebagai kitab pengajian wetonan dan juga sebagai kitab sorogan.

Kemudian pada tahun 1928 M. beberapa santri yang mempunyai pengalaman belajar dibeberapa daerah mengajukan gagasan untuk mengadakan sistem pendidikan madrasah (klasikal), disamping pengajian-pengajian yang sudah berjalan. Rupanya terhadap gagasan tersebut kyai tidak menaruh keberatan apa-apa bahkan merestui, maka dalam tahun itu pula didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Ibtidaiyyah. Murid pertama madrasah ini sebanyak 30 ( tiga puluh ) anak. Namun jika dibandingkan jumlah para santri yang hampir mencapai 2000 orang maka jumlah 30 orang siswa ini menunjukkan bahwa minat para santri terhadap sistem pengajaran semacam ini masih sangat kurang sekali. Dan memang demikianlah kenyataanya, sebab bagi mereka yang sudah terbiasa mengaji dengan tidak pernah terkena kewajiban menghafal, tamrinan dan lain sebagainya, maka sistem madrasah ini tidak menarik sama sekali. Oleh karena itu tidak mengherankan bila madrasah Ibtidaiyah itu kemudian hanya berumur beberapa bulan saja.

Namun demikian usaha-usaha untuk mengadakan perkembangan pendidikan dengan sistem madrasah itu tidak pernah berhenti. Sehingga akhirnya pada tahun 1932 M. dengan dipelopori oleh beliau Kyai Hamid Dimyathi didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Salafiyah. Pada mulanya madrasah tersebut hanya diperuntukkan bagi anak-anak desa sekitar ( masyarakat ), tetapi setelah Kyai Hamid Dimyathi menggantikan ayahnya menjadi kyai, maka madrasah tersebut dibuka pula untuk anak-anak pondok.

Demikianlah perkembangan fisik maupun perkembangan ilmiyah Pondok Tremas di masa KH. Dimyathi, sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa itulah kejayaan Pondok Tremas. Dan karena kemajuan, kebesaran serta keharumannya, maka tidak mengherankan bila para alumni dari periode ini banyak yang menjadi tokoh-tokoh yang dapat diandalkan dalam bidangnya masing-masing.

Namun sebelum kita menginjak pada periode selanjutnya, terlebih dahulu akan penyusun sampaikan tentang beberapa hal sekitar kepribadian beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi.

Beliau dikenal oleh santri-santrinya sebagai orang yang sangat alim dan tinggi ilmunya, sholeh dan tawadlu’ dalam tingkah lakunya, sabar dalam sikapnya dan sederhana dalam segala-galanya. Beberapa pihak yang dekat dengan kehidupan pribadi beliau menerangkan bahwa KH. Dimyathi tidak pernah menunjukkan kemarahan pada wajah lahiriyahnya, sampai-sampai terhadap seorang santri yang berbuat kesalahan besar dan diputuskan dipulangkan umpamanya, maka dengan nada datar beliau berkata penuh tawadlu’. “ Barangkali yang paling maslahat bagi saudara seyogyanya pulang terlebih dahulu “. dan pulanglah sang santri dengan penyesalan yang dalam. Namun demikian, sikap beliau yang agung tersebut tidak pernah mengurangi ketaatan dan keseganan para santri terhadap pribadi beliau. Dan kebesaran pribadi serta wibawa beliau makin tampak apabila beliau sedang mengajar.

Di tengah-tengah para santri yang memenuhi serambi masjid, dalam suasana yang hening, dengan nada yang pasti dan meyakinkan beliau membaca kitab yang diajarkan baris demi baris, yang kadang-kadang disana-sini diselingi dengan humor yang cukup segar, sementara para santri mendengarkan dengan penuh perhatian. Sehingga sering diceritakan bahwa santri yang paling bodoh sekalipun akan dapat memahami dengan baik, sedang para santri yang cerdas akan dapat menghafalkan dengan mudah sesudah pengajian selesai

C. Periode KH. Hamid 1834-1848
Pada masa kecilnya beliau belajar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas, dan kemudian setelah usia remaja melanjutkan pendidikan di Pondok Lasem dibawah bimbingan Al-Mukarrom KH. Ali Ma’sum. Kemudian setelah beberapa tahun di Lasem beliau kembali ke Tremas serta , membantu ayahnya KH. Dimyathi dalam membangun dan membina Pondok Tremas.

Dalam masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi ini, apa yang terjadi di Pondok Tremas terbagi menjadi dua fase, yaitu

:: Fase Kemajuan
Tahun-tahun pertama dari masa Kyai Hamid Dimyathi adalah tahun paling jaya, yang merupakan jaman keemasan bagi Pondok Tremas baik dari segi fisik maupun perkembangan pendidikan dan pengajarannya. Jadi disamping dasar-dasar kemajuan yang memang sudah dilakukan pada masa KH. Dimyathi dilakukan juga beberapa usaha yang merupakan penyempurnaan dari usaha usaha sebelumnya

Usaha-usaha tersebut antara lain :
1.  Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian
2. Organisasi pondok diadakan penyempurnaan, baik dalam usaha keuangan, tata usaha administrasi maupun personalianya
3.  Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai sebagai tempat pengajian
4. Penambahan macam-macam pengajian, yakni pengajian-pengajian yang sudah ada sebelumnya, ditambah dengan beberapa macam pengajian dengan memakai kitab-kitab yang ada pada masa KH.Dimyathi belum pernah dibaca, antara lain :
 اتمام الدراية
    الحكمة فى مخلوقات الله
       الحكمة فى مخلوقات الله
        ميزان العمل
   كلمة السعادة
5.  Pembukaan madrasah Salafiyah untuk para santri yang bertempat tinggal di asrama atau di pondok. Dan memasukkan beberapa mata pelajaraan umum pada madrasah salafiyah tersebut, yaitu :
Bahasa Indonesia
Sejarah Bumi
Ilmu Bumi
 Berhitung, dll
6. Membuka perpustakaan, yang bertujuan untuk memenuhi minat baca dan sebagai pendukung belajar para santri. Jadi bagi suatu lembaga pendidikan seperti Pondok Tremas, perpustakaan yang didirikan oleh Kyai Hamid Dimyathi pada tahun 1935 M. tersebut termasuk cukup lengkap. Didalamnya terdapat berbagai macam kitab yang meliputi fiqih, adab, tarikh, hadits dan sebagainya. Kemudian disamping kitab-kitab tersebut, dilengkapi juga dengan majalah-majalah baik yang terbitan dalam negeri juga yang terbitan luar negeri, misalnya:
     >   Majalah Penyebar Semangat dari Surabaya
     >   Majalah Anshor dari Mesir
     >   Majalah Al-Fata dari Mesir, dsb

D. Fase Kemunduran Kemunduran disini disebabkan karena pecahnya perang dunia II, tentara Dai Nippon (Jepang) mendarat di pulau Jawa dalam rangka ekspansinya untuk menguasai Asia Timur Raya.

Dalam keadaan yang tidak menentu itu sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar serta keamanan para santri yang bertempat di Pondok Tremas. Sehingga akibatnya banyak santri Pondok Tremas yang pulang ke kampung halamannya masing-masing, dan keadaan tersebut mengakibatkan juga berhentinya kegiatan belajar mengajar para santri, akhirnya pondok menjadi sepi.

Namun demikian terdapat juga sebagian kecil santri yang tidak meninggalkan pondok karena disebabkan oleh beberapa hal, misalnya belum dapat biaya pulang padahal rumahnya sangat jauh dan menyeberangi lautan, dan sebagainya.

Untuk lebih jelasnya, mengenai fase kemunduran tersebut akan kami bagi dalam beberapa sebab, yaitu :

:: Jepang mendarat di pulau Jawa
Kedatangan Jepang ke jawa benar-benar telah membawa penderitaan bagi rakyat Indonesia. Penderitaan fisik, mental keyakinan, politik, kebudaayaan, ekonomi, pendidikan dan keselamatan setiap orang. Mereka telah merampok kekayaan tanah air, menghancurkan kebudayaan serta adat-istiadat, dan menyebarkan rasa takut serta gelisah dikalangan penduduk. Oleh sebab itu orang tidak sempat berfikir, apalagi berangan-angan tentang politik dan nasib hari depan, karena masing-masing orang telah menghadapi kemungkinan yang paling mendesak.

Akibat buruk yang ditimbulkan oleh tentara Dai Nippon itu juga menimpa terhadap para santri maupun pengasuh Pondok Tremas itu sendiri. Oleh sebab itu maka banyaklah para santri yang pulang ke kampungnya masing-masing kecuali bagi mereka yang tidak dapat pulang karena sesuatu hal. Dan sejak itulah Pondok Tremas mengalami masa kemunduruan.

Kemunduran Pondok Tremas tersebut belum sempat dibenahi sudah disusul oleh peristiwa meletusnya pemberontakan PKI-Muso di Madiun. Sebuah kasus yang lebih dikenal dengan nama “ Affair Madiun “ pada tahun 1948. Suatu peristiwa dimana kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis jadi korban. Dan peristiwa tersebut sangat merugikan terhadap perkembangan Pondok Tremas, bahkan sampai pada masa fakumnya

:: Pembrontakan PKI di Madiun
Dalam suasana perjuangan yang semakin memuncak pada tahun 1945, Kyai Hamid Dimyathi ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Beliau masuk menjadi anggota KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat ), dan kemudian beliau masuk menjadi aktifis partai politik Islam Masyumi, ( satu-satunya partai Islam pada waktu itu ). Dalam kedudukannya itu maka akibatnya beliau jarang berada di pondok, sampai akhirnya meletus pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948.

Pemberontakan diawali dari kota Madiun dan kota Solo, maka kota Pacitan yang juga termasuk wilayah karesidenan Madiun juga bergolak. Maka kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis menjadi korban. Dan dalam pemberontakan PKI di Madiun (Affair Madiun) itu korban yang paling banyak jatuh adalah dari pihak Islam, yang memang bahu-membahu dengan TNI menumpas pemberontakan itu.

Akibat pemberontakan PKI di Madiun tersebut bagi Pondok Tremas tercatat sebagai hari berkabung. Karena pada waktu itu Pondok Tremas juga termasuk salah satu sasaran tentara tentara PKI-Muso yang mengganas, membabi buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki, sehinga keamanan Pondok Tremas menjadi semakin terancam. Dan situasi yang tidak menentu tersebut menyebabkan para santri banyak yang pulang ke rumah masing-masing.

Bahkan pernah suatu waktu Kyai Hamid Dimyathi di panggil langsung oleh Bung Tomo ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat perjuangan para ulama dan kyai. Tapi karena kesibukan Kyai Hamid Dimyathi di daerah Pacitan sendiri sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu, maka beliau berhalangan hadir, dan disuruhlah Bapak Mursyid (kakak ipar beliau) sebagai penggantinya berangkat ke Surabaya. Sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu beliau merasa bahwa keadaan dan keamanan di Pacitan sudah sangat kritis, maka beliau kemudian berusaha mengadakan hubungan ke Yogyakarta untuk memberi laporan kepada pemerintah pusat. Namun dalam penyamarannya melakukan perjalanan ke Yogyakarta bersama-sama dengan Pak Joko, Pak Abu Naim, Pak Yusuf, Pak Qosyim (kakak dan adik ipar) dan Pak Soimun (pendereknya) serta pengikut-pengikutnya yang semua berjumlah 15 orang, di tengah perjalanan sewaktu beristirahat di sebuah warung di daerah Pracimantoro, beliau dan rombongannya dicurigai dan ditangkap oleh gerombolan PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.

Setelah beberapa waktu ditahan di Baturetno maka dibawalah Kyai Hamid Dimyathi beserta rombongannya itu ke daerah Tirtomoyo dan dibunuhlah disana dengan dimasukkan begitu saja dalam suatu lobang bersama-sama dengan 13 syuhada’ lainnya (kecuali Pak Soimun pendereknya yang tidak dibunuh). Inna lillaahi wainna ilai roji’un.

Menurut persaksian Pak Soimun, diceritakan bahwa setelah beberapa bulan kemudian ( setelah keadaan aman ), diadakan penggalian terhadap para syuhada’ dan pejuang termasuk diantaranya penggalian terhadap jenazah rombongan Kyai Hamid Dimyathi yang berjumlah 14 orang tersebut. Namun setelah lobang itu digali kembali maka jumlah jenazah yang sudah mulai rusak tersebut tinggal 13 orang, dan karena keadaannya sudah rusak maka tidak dapat dikenali lagi satu persatu dan yang manakah jenazah Kyai Hamid Dimyathi. Dan akhirnya ke 13 jenazah tersebut dibawa ke makam pahlawan di Jurug Surakarta, dan sampai sekarang belum diketahui dimana makam beliau. Wallaahu A’lam.

Sejak meningalnya Kyai Hamid Dimyathi (tahun 1948), maka Pondok Tremas tersebut mengalami masa kevakuman sampai tahun 1952. Bangunan pondok yang beberapa tahun sebelumnya masih ramai dihuni oleh para santri kini menjadi kosong, serta banyak yang sudah mulai rusak. Dan para santrinya banyak yang kembali kembali ke kampungnya masing-masing. Alasan pulangnya para santri tersebut disamping adanya suasana politik yang kurang memungkinkan untuk tinggal di pondok duga disebabkan oleh karena kekosongan pemimpin (kyai), karena pengaruh kyai terhadap para santri sangat besar sehingga kyai dianggap sebagai sumber pemberi ilmu dunia dan akherat, dan juga sebagai seseorang yang paling harus ditaati.

Kemunduran yang sedemikian parahnya itu belum sempat dibenahi sudah disusul dengan bencana yang lain, yaitu datangnya kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II) pada tahun 1948

:: Datangnya kembali Belanda ke Indonesia

Seperti diuraikan diatas, bahwa penyebab ketiga kemunduran Pondok Tremas tersebut disebabkan oleh kedatangan kembali Belanda ke Indonesia (Agresi Belanda II). Agresi militer tersebut ialah aksi Belanda menyerbu wilayah Republik Indonesia yang kedua kalinya, setelah wakil tinggi mahkota Belanda (Dr. Beel) menyatakan tidak terikat lagi oleh persetujuan Renville pada tanggal 18 Desember 1948.

Tanggal 19 Desember 1948 Lapangan Maguwo Yogyakarta diserang oleh Belanda dan berhasil diduduki. Penyerbuan juga terjadi di kota-kota lain. Panglima Besar Jendral Sudirman bersama-sama para pemuda menyusun kekuatan dan melaksanakan strategi perang gerilya dimana-mana.

Oleh karena Pacitan termasuk salah satu kota yang menjadi sasaran serbuan tentara Belanda pada waktu itu, maka ketika diketahui bahwa kota Pacitan akan diserbu oleh tentara Belanda dari laut maka Pacitan dalam keadaan darurat, dan kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari, (sekarang kecamatan). Dan atas ijin sesepuh pondok, maka bupati Pacitan memutuskan untuk memindahkan sebagian lembaga pemasyarakatan ke Pondok Tremas yang sudah hampir tidak ada penghuninya, jadi selain digunakan sebagai lembaga pemasyarakatan Pondok Tremas juga digunakan untuk menampung orang-orang yang terlantar akibat penjajahan Jepang.

Kiranya tidaklah mengherankan apabila dalam keadaan yang tidak memungkinkan itu para santrinya pulang ke kampung masing-masing. Jadi sejak itulah maka Pondok Tremas sudah hampir tidak ada santrinya lagi kecuali hanya beberapa orang santri daari daerah sekitar dasn para santri yang tidak pulang karena hal lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa mulai tahun itu Pondok Tremas dalam keadaan vakum sama sekali, sampai akhirnya pada tahun 1952 Kyai Habib Dimyathi (adik Kyai Hamid Dimyathi) kembali dari Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta mengganti kakaknya membina dan membangkitkan kembali Pondok Tremas yang sudah hampir lima tahun dalam keadaan tidak aktif lagi

F. Masa Kebangkitan
Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa Pondok Tremas telah berdiri sejak tahun 1830. Dalam perkembangannya pondok tersebut banyak mengalami kemajuan, dan puncak kemajuan itu terlihat pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi dan Kyai Hamid Dimyathi. Mendekati berakhirnya masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi Pondok Tremas berangsur-angsur mengalami kemunduran. Adapun puncak kemunduran tersebut mulai nampak sejak meninggalnya Kyai Hamid Dimyathi, hingga Pondok Tremas mengalami masa vakum

Sedangkah tokoh-tokoh kebangkitan kembaki Pondok Tremas adalah:

:: KH. Habib Dimyathie
Beliau dilahirkan pada tahun 1923 M. Pada masa kecilnya beliau belajar dasar-dasar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas sendiri. Dan kemudian melanjutkan ke Pondok Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum. Setelah satu tahun lebih sedikit beliau belajar di pondok tersebut, kemudian kembali lagi ke Tremas. Pada tahun 1937 beliau melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta selama dua tahun lebih sedikit dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim. Dan dari madrasah Salafiyah tersebut beliau kembali lagi pulang ke Tremas. Setelah beberapa waktu di Tremas kemudian melanjutkan belajarnya ke Pondok Popongan dibawah asuhan KH. Mansyur, lantas melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan KH. Hasyim Asy’ari sampai kemerdekaan tahun 1945. Sepulangnya dari Tebuireng lalu melanjutkan lagi ke Pondok Pesasntren Krapyak Yogyakarta, dan seterusnya ke Pondok Pesantren Sumolangu Kebumen dibawah asuhan KH. Thoifur Abdurrohman. Selama di Yogyakarta beliau masuk menjadi anggota tentara pejuang Hizbulloh dan menjadi anggota BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan Bung Tomo, berjuang melawan penjajah di Ambarawa dan bermarkas di Magelang.

Pada awal tahun 1948 beliau pulang ke Tremas, tetapi karena pada waktu itu masih dalam situasi yang serba kacau akibat pemberontakan PKI (Affair Madiun), maka beliau bersama pamannya, KH. Abdurrozaq dan kawan-kawannya ditahan oleh PKI di Pacitan.Namun berkat datangnya bantuan tentara Siliwangi ke daerah Pacitan akhirnya beliau-beliau dapat diselamatkan dari rencana pembunuhan oleh PKI.

Setelah beberapa bulan di Tremas beliau meneruskan lagi ke Pondok Pesantren Krapyak, sampai akhir tahun 1952 beliau dipanggil pulang ke Tremas untuk menggantikan kakaknya, Kyai Hamid Dimyathi yang terbunuh akibat terjadinya affair Madiun 1948

:: KH. Haris Dimyathie
Beliau lahir pada tahun 1932 M. Pada masa kecilnya beliau belajar di Pondok Tremas dibawah asuhan para sesepuh pondok. Kemudian pada tahun 1939 melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim sampai kurang lebih tahun 1942 M. Dan semasa pemerintahan penjajah Jepang beliau kembali ke Tremas sampai tahun 1945. Dan kemudian melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta dibawah asuhan KH. Ali Ma’sum.

Tetapi karena situasi kritis yang meliputi Yogyakarta pada waktu itu beliau ikut mengungsi ke daerah Kedung Banteng (masih termasuk wilayah Yogyakarta ) bersama-sama dengan Bapak Mukti Ali (eks menteri agama RI), Burhanuddin Harahap dan tokoh-tokoh pejuang lain. Di tempat pengungsian yang cukup lama itu Bapak Mukti Ali dan lainnya berhasil mendirikan sebuah madrasah, dimana untuk beberapa lama KH. Haris Dimyathi ikut menjadi murid, dan kemudian menjadi ustadz sampai kurang lebih tahun 1952. Hingga beberapa waktu kemudian beliau mengikuti jejak kakaknya kembali ke Tremas untuk membina dan membangun kembali Pondok Tremas.

Pada tahun 1945 Bapak Darul Khoiri bin Abdurrozaq ( nama panggilan pak Ndari ) yang selama kevakuman Pondok tremas menjadi pimpinan Madrasah Salafiyah menyerahkan kepemimpinannya kepada KH. Haris Dimyathi

Perlu diketahui bahwa KH Haris Dimyathi ini pernah menjadi menantunya pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama, saat meningkah dengan Nyai Fatimah binti KH. Hasyim Asy'ari dari Tebuireng, namun sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama

:: KH. Hasyim Ikhsan
Beliau dilahirkan pada bulan Juli 1912 M. Semasa kecilnya belajar di Tremas sendiri dibawah asuhan para sesepuh, antara lain mBah Nyai Abdulloh serta pada KH. Dimyathi. Pada tahun 1928 meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum bersama-sama dengan Kyai Hamid Dimyathi.

Setelah beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Tremas dan diminta membantu mengajar di Pondok Tremas, tetapi satu tahun kemudian beliau meneruskan belajarnya ke Pondok Lasem lagi dibawah asuhan Kyai Kholil, hingga pada tahun 1934 kembali ke Tremas dan mengajar bersama-sama ustadz lain.

Pada tahun 1948 sampai 1950 beliau menjadi penerangan Agama Islam di Tegalombo, selanjutnya dipindah ke daerah Arjosari. Dan akhirnya mengajar kembali di Pondok Tremas

Tagged as:
About the Author

Write admin description here..

1 komentar:

animasi-bergerak-bendera-indonesia-0010
">See all posts'); document.write('

?max-results=10">

'); document.write("?max-results="+numposts1+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");
Diberdayakan oleh Blogger.
?">index'); document.write('

?max-results=10">Label 5

');
    ?max-results="+numposts2+"&orderby=published&alt=json-in-script&callback=showrecentposts2\"><\/script>");

Mengenai Saya

anak singkong yang tak berhenti bermimpi cinta damai dan selalu setia

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Translate

Popular Posts

MITRA

back to top